Jumat, 10 Juni 2011

Hubungan Stres dengan Psikologi LingkunganStres

Hubungan Stres dengan Psikologi LingkunganStres

1.Apakah stress itu, jelaskan?

Jawab:

A. Pengertian Stres dikemukakan oleh beberapa ahli:

  1. Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) mendefinisikan stress sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya.
  2. Menurut Lazarus (1976) stress adalah suatu keadaan psikologi individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal.
  3. Sedangkan korchin (1976) keadaan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang.
  4. Sarafino (1994) mengkonseptualisasikan kedalam tia pendekatan, yaitu
  • Stimulus: Mengetahui sumber atau penyebab ketegangan berupa keadaan atau situasi dan pristiwa yang dirasa mengancam atau membahayakan, menghasilkan perasaan tegang yang disebut STRESOR.
  • Respon: Reaksi seseorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan yaitu komponen psikologi dan komponen fisiologi.
  • Proses: Terdiri dari stressor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting yaitu berhubungan antara manusia dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, disebut juga dengan istilah transaksi antara manusia dengan lingkungan, yang di dalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang lain merasakannya.


B. Model stress

Cox (dalam Crider dkk, 1983) mengemukakan 3 model stress, yaitu: Response-based model, Stimulus-based model, dan

Interactional model.

a. Respon-based model

Mengacu sebagai sekelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit dan mencoba untuk mengidentifikasikan pola-pola kejiwaan dan respon-respon kejiwaan yang diukur pada lingkungan yang sulit. Suatu pola atau sekelompok dari respon disebut sebagai sebuah sindrom. Pusat perhatian dari model ini adalah bagaimana stressor yang berasal dari pristiwa lingkungan yang berbda-beda dapat menghasilkan respon stress yang sama.

b. Stimulus-based model

Model stress ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimuli stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli stress adalah sebagai berikut:

Overload: karakteristik ini diukur ketika sebuah stimulus dating secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi

Conflict: diukur ketika sebuah stimulus secara simultan membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian. Situasi-situasi konflik berdifat ambigu, dalam arti stimulus tidak memperhitungkan kecenderungan respon yang wajar.

Uncontroliability: adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas/tidak tergantung pada prilaku dimana pada situasi ini menunjukkan tingkat stress yang tinggi. Stress diproduksi oleh stimulus aversive yang mungkin diolah melebihi kemampuan dan control waktu serta jangka waktu dari stimuli ini daripada dengan kenyataan penderitaan yang dialami. Dampak stress dari stimuli aversive dapat diperkecil jika individu percaya dapat mengontrolnya.

c. Interactional model

Merupakan perpaduan dari respon-based model dan stimulus-based model. Model ini memperkirakan bahwa stress dapat diukur ketika dua kondisi bertemu, yaitu:

Ketika individu menerima ancaman akan motif dan kebutuhan penting yang dimilikinya. Jika telah berpengalaman stress sebelumnya, individu harus menerima bahwa lingkunagan mempunyai ancaman pada motif-motif atau kebutuhan-kebutuhan penting pribadi.

Ketika individu tidak mampu mengcoping stressor. Pengertian coping lebih merujuk pada kesimpulan total dari metode personal, dapat digunakan untuk menguasai situasi yang penuh stress. Coping termasuk rangkaian dari kemampuan untuk bertindak pada lingkungan dan mengelola gangguan emosional, kognitif serta reaksi psikis.


C. Jenis stress

Holan (1981) menyebutkan jenis stress yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: systemic sress dan psychological stress. Systemic stress didefinisikan oleh Selye (dalm Holahan, 1981) sebagai respo non spesifik sari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang mengahasilkan stress, misalanya racun kimia atau temperature ekstrim, aebagai stressor. Selye mengidentifikasi tiga tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stress, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS).

  • Tahap pertama, alarm reaction dari system saraf otonom termasuk didalamnya peningkatan sekresi adrenalin, detak jangtung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini bias diartikan sebagai pertahanan tubuh.
  • Selanjutnya, tahap ini diikuti oleh tahap resistance atau ada[tasi, yang di dalamnya termasuk berbagai macam respon coping secara fisik.
  • Tahap ketiga, exhaustion atau kelelahan akan terjadi kemudian apabila stressor dating secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat.

Psycohological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stress sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Kolahan, 1981). Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan dan seterusnya (dalam Heimstra & McFarling, 1978).

D. Sumber stress (stressor)

Lazarus dan Cohen (dalam Evans, 1982) mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok sumber stress, yaitu:

  1. Fenomena catalismic, yaitu hal-hal atau kejadian-kejadian yang tiba-tiba, khas, dan kejadian yang menyangkut banyak orang seperti bencana alam, perang, banjir, dan sebagainya.
  2. Kejadian-kejadian yang memerlukan penyesuaian atau coping seperti pada fenomena catalismic meskipun berhubungan dengan orang yang lebih sedikit seperti respon seseorang terhadap penyakit atau kematian.
  3. Daily has-sles, yaitu masalah yang serin dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut ketidakpuasan kerja atau masalah-masalah lingkungan.


2. Apakah kaitan stress dengan psikologi lingkungan, jelaskan?Jawab:

Elemen-elemen lingkungan dapat mempengaruhi proses terjadinya ketidakseimbangan maupun keseimbangan dalam kaitan manusia dengan lingkungannya. Ketika tidak mengalami stres, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. dalam keadaan seperti ini, ada waktu-waktu tertentu dimana kita sebenarnya justru mengalami stres, dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individu dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior dengan kata lain kaitan stress dengan lingkungan yaitu stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang mengancam yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya.

Minggu, 24 April 2011

Teritorialitas, ruang personal dan privasi terhadap lingkungan

kelas:3pa05
NPM:10508080
Mata kuliah:p.lingkungan
tugas:Teritorialitas, ruang personal dan privasi terhadap lingkungan




Teritorialitas, ruang personal dan privasi terhadap lingkungan
Privasi adalah salah satu dari gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya, di mana konsep ini amat dekat dengan ruang

konsep dan teritorialitas seperti yang dibahas di muka. Materi-materi yang akan dibahas antara lain meliputi :
Pengertian Privasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi privasi
Faktor personal
Faktor situasional
Pengaruh privasi terhadap perilaku

PENGERTIAN PRIVASI
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu.

Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi

dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986).
Beberapa definisi tentang privasi mempunyai kesamaan yang menekan pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam

mengontrol interaksi panca inderanya dengan pihak lain.
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang di kehendaki oleh seseorang pada suatu kondisi atau

situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginkan

untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar dengan berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain,

dengan cara mendekati atau menjauhinya, Lang (1987) berpendapat bahwa tingkat dari privasi tergantung dari pola-pola

perilaku dalam kepribadian dan aspirasi dari keterlibatan individu.
Rapoport (dalam Soesilo, 1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan

untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginka. Privasi jangan dipandang

hanya sebagai pearikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda

dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrightman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli (seperti Bates, 1964; Kira,1996 dalam

Altman, 1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukkan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan

orang lain dan lingkungan sosialnya.
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat

dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan

terpisah dari orang lain (privasi tinggi). Utuk mencapai hal iu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme

prilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut :
Perilaku Verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubungan

dengannya. Misalnya “Maaf, saya tidak punya waktu”.
Perilaku non verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukkan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang.

Misalnya seseorang akan menjauh dan membentuk jarak dengan orang lain, membuang muka ataupun terus-menerus meliht waktu yang

menandakan bahwa ia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain.

Mekanisme cultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma yang menggambarkan keterbukaan atau ketertutupan kepada

orang lain dan hal ini sudah diketahui pleh banyak orang pada budaya tertentu (Altman, 1975; Altman & Chemers dalam Dibyo

Hartono, 1986).

Ruang personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertenu. Sommer (dalam Altman, 1975)

mendefinisikan beberapa karakteristik ruang personal. Pertama, daerah batas diri yang diperbolehkkan dimasuki oleh orang

lain. Ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Kedua, ruang

personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terletak pada suatu tempat tetapi batas itu melekat

pada diri dan dibawa kemana-mana. Fisher dkk.(1984), mengatakan bahwa ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi

individu. Ketiga, sama dengan privasi ruang personal adalah batas kawasan dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan

waktu dan situasi. Hal ini tergantung dengan siapa seseorang itu berhubungan. Keempat, pelangaran ruang personal oleh orang

lain akan di rasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini di control dengan kuat.

Teritorialitas
Pembentukan kawasan teritorialitas adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang

personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada

teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relative tetap.
Berdasarkan pembahasan diatas, maka kita dapat mengatakan bahwa konsep privasi ternyata sangat dekat dengan konsep

ruang personal dan terirorialitas. Altman (1975) membuat suatu model organisasi konseptual. Altman mempertimbangkan ruang

persona,territorial dan kesesakan untuk mencapai privasi.


Gambar. Model privasi yang dapat dicapai dengan mempertimbangkan
Ruang personal dan Teritorialitas
Sumber: Alman (1975)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRIVASI

Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor situasional, dan faktor budaya.
Faktor Personal, Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dlalam latar belakang pribadi akan

berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah

sesak akan lebih memilih keadaan yang anonym atau reserve saat ia dewasa, sedangkan orang menghabiskan sebagian besar

waktunya dikota akan lebih memilih keadaan anonym dan intimacy.
Sementara itu Walden dan kawan-kawan (dalam Gifford, 1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam privasi.

Dalam sebuah penelitian pada para penghuni asrama ditmukan bahwa antara pria dan wanita terdapat perbedaan dalam merespon

perbedaan keadaan antara ruangan yang berisi dua orang dengan ruangan yang berisi tiga orang. Dalam hubungannya dengan

privasi, subjek pria lebih memilih ruangan yang berisi dua orang, sedangkan subjek wanita tidak mempermasalahkan keadaan

dalam ruangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa wanita merespon lebih baik daripada pria bila dihadapkan pada situasi

dengan kepadatan yang lebih tinggi.
Faktor Situasional, Beberapa hasil penelitian dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap

kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk

menyendiri (Gifford, 1987).
Faktor Budaya, Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick

pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa pada tiap-tiap

budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana

mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987).
Studi Patterson dan Chiswick (dalam Gifford, 1987) di bawah ini menggambarkan privasi masyarakat Iban, Serawak,

Kalimantan. Orang-orang Iban tinggal di rumah panjang dengan privasi yang (diduga) kurang, dimana kesempatan untuk

menyendiri atau keintiman ada di belakang pintu-pintu yang tertutup. Apakah orang-orang Iban memiliki privasi yang amat

memperihatinkan? Atau apakah mereka tidak membutuhkan privasi? Patterson dan Chisewick menemukan orang Iban tampaknya

membutuhkan privasi kira-kira sebanyak yang kita butuhkan, akan tetapi mereka melakukannya dengan mekanisme yang berbeda.

Mekanisme-mekanisme ini adaklah suatu kesepakatan social.

PENGARUH PRIVASI TERHADAP PERILAKU
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara

seseorang atau kelompok dengan lingkungan social. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang di inginkannya maka

ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxime Wolfe dan kawan-kawan (dalam) Holahan, 1982) mencatat bahwa pengolahan hubungan interpersonal adalah pusat dari

pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan

yang tidak mengeakka.
Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan

individu untuk membagi kepercayaa dengan orang lain. Keterbukaa membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas

dengan orang lain dalam banyak situasi.
Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri ke dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu

membuat hidup ini lebih mengenakkan saat harus berurusan dengan orang-orang yang “sulit”. Sementara hal yang senada

diungkapkan oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan

emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari.
Dari beberapa pedapat di atas, dapat di ambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi,

pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi social yang kompleks di dalam kelompok social; kedua, privasi

membantu kita memantapkan perasaan identitas pribadi.

TERITORIALITAS
Pengertian Teritorialitas

Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan

atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain.

Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau

merupakan suatu teritorial primer.

Elemen-elemen Teritorialitas

Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu:
kepemilikan atau hak dari suatu tempat.
personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
hak untuk mempertahankan diri dari dari gangguan luar, dan
pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis

Teritorialitas dan Perbedaan Budaya

Suatu studi menarik dilakukan oleh Smith (dalam Gifford, 1987) yang melakukan studi tentang penggunaan pantai orang-orang

Perancis dan Jerman. Studi ini yang memiliki pola yang sama dengan studi yang lebih awal di Amerika, sebagaimana yang

dilakukan oleh Edney dan Jordan-Edney (dalam Gifford,1987). Hasil dari ke dua penelitiam ini menunjukan bahwa penggunaan

pantai antara orang Perancis, Jerman dan Amerika membuktikan sesuatu hal yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga

budaya ini memiliki persamaan dalam hal respek. Sebagai contoh, pada ketiga kelompok menuntut ruang yang lebih kecil setiap

orang. Kelompok yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, dimana wanita menuntut ruang yang

lebih kecil dibandingkan dengan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang

mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang jerman membuat lebih banyak tanda. Mereka sering sekali menegakan

penghalang benteng pasir, suatu tanda untuk menyatakan bahwa area pantai disediakan untuk antara dua hari tertententu dan

merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu. Akhirnya, ukuran teritorialitas ternyata berbeda diantara ketiga

budaya tersebut, wlaupun dengan bentuk yang dapat dikatakan sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritorialitas yang

lebih besar, tetapi pada ketiga budaya maupun dalam pembagian kelompok-kelompoknya menandai teritorialitas dengan suatu

lingkaran yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritori yang lebih besar sekali, tetapi dari ketiga budaya tersebut

secara individu menandai territorial dalam bentuk elips dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.

Hubungannya dengan Lingkungan

Dalam hal ini peraturan-peraturan teritorial dapat memfasilitasi berbagai lokasi pada lingkungan sekitar, walaupun terkadang

Seringkali desain ruang publik tidak memperhatikan kebutuhan penghuninya untuk memanfaatkan teritori yang dimilikinya. Bisa

kita lihat dalam ruang kuliah, kursi bus, taman bermain anak dan lain-lain. Terlihat dalam hal ini begitu berhubunganya

teritorial dengan lingkungan kita.


Ruang Personal

Ruang personal adalah ruang di sekeliling individu, yang selalu di bawa kemana saja orang pergi, dan orang akan merasa

terganggu jika ruang tersebut diinterferensi (Gifford, 1987). Artinya, kebutuhan terhadap ruang personal terjadi ketika

orang lain hadir. Ketidakhadiran orang lain, kebutuhan tersebut tidak muncul. Ruang personal biasanya berbentuk buble dan

bukan semata-mata ruang personal tetapi lebih merupakan rauang interpersonal. Ruang personal ini lebih merupakan proses

belajar atau sosialisasi dari orang tua. Seringkali orang tua mengingatkan anaknya untuk tidak mendekati orang asing dan

lebih dekat ke orang tua terutama ibu atau anak diminta memberikan ciuman kepada saudaranya. Anak mempelajari aturan-aturan

bagaimana harus mengambil jarak dengan orang yang sudah dikenal dan orang yang belum dikenalnya. Oleh karenanya, pengambilan

jarak yang tepat ketika berinteraksi dengan orang lain merupakan suatu cara untuk memenuhi kebutuhan ruang personal diri dan

orang lain.

Hubungannya dengan Lingkungan
Ada beberapa unsur yang mempengaruhi jarak Ruang Personal seseorang, yaitu:
1. Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri

sendiri,
2. Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada kaitannya dengan kemandirian. Pada saat bayi,

hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi. Pada usia 18 bulan, bayi

sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi. Ketika berumur 12 tahun, seorang anak

sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3. Kepribadian
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil. Demikian halnya

dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih

mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4. Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang RP ini. Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia

memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi

sangat dekat
5. Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan. Beberapa anak autis

memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan

terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6. Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang

lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada

jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding

sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7. Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari

stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau

orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor

ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
8. Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita

cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika

makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling

bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9. Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10. Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik. Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika

posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil. Orang juga cenderung memilih duduk di bagian

sudut daripada di tengah ruangan.
11. Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis.

Dengan demikian dapat dilihat dari beberapa unsur diatas bahwa ruang personal dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yang ada

kaitannya dengan keadaan lingkungan, dimana individu dapat menentukan aturan ruang personalnya dengan orang lain yang

dikehendaki atau dengan lingkungan sekitarnya.

Senin, 21 Maret 2011

Kepadatan dan kesesakan

KEPADATAN DAN KESESAKAN

Pp A. PENGERTIAN KEPADATAN

Menurut Sundstom kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan. Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruangan atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik. Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan luas ruangannya.

Kepadatan juga dapat mempengaruhi perilaku manusia maupun pada kesehatan manusia itu sendiri, dimana sebagai contoh apabila kita berada didalam sebuah ruangna yang dipadati oleh sejumlah orang dengan kapasitas ruangan yang kecil maka kita pasti akan mengalami kesesakan atau rasa yang kurang nyaman, kita pasti ingin segera cepat-cepat keluar dari ruangan tersebut, selain tidak adanya kenyamanan suasana seperti ini dapat menimbulkan kecemasan serta peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sehingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

Penelitian tentang kepadatan pada manusia mulanya berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Hasil penelitian Calhoun menunjukan hal-hal sebagai berikut :

1.Dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang dan melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti kehidupan alamiah.

2. Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata member dampak negative terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal.Penelitian terhadap manusia pernah dilakukan oleh Bell. Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal negative akibat dari kepadatan.

1. Ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

2. Peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.

3. Terjadi penurunan ketekunan dan pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja yang kompleks.

Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negative kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria. Atau bisa dikatakan pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila di bandingkan dengan wanita.

B. B. Kategori Kepadatan

Kepadatan itu sendiri memiliki beberapa indaktor diantaranya jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu dalam daerah sensus, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan disekitarnya, dan lain-lain. Hal ini bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari kontribusi indicator-inkator yang disebutkan diatas.

Teori Kepadatan dapat dibedakan dalam beberapa kategori, menurut Holahan menggolongkan kepadatan menjadi dua kategori yaitu :

1. Kepadatan spasial (spatial density) Yaitu yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau lebih sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang.

2. Kepadatan sosial (social density) Yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga terjadinya peningkatan kepadatan.

Dan menurut Altman juga kepadatan dapat digolongkan kedalam dua kategori, yaitu :

1. Kepadatan dalam (Inside density) Yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruangan atau tempat tinggal seperti kepadtaan di dalam rumah, kamar, dan ruangan-ruangan lainnnya.

2. Kepadatan luar (outside density) Yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

C. C. Akibat Tingginya Kepadatan

Menurut Taylor, Lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu di suatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikid pada individu yang menempatinya.

Schorr mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, setres dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana.

Menurut Heimstra dan Mc Farling, kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis.

Akibat secara fisik, yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain.

Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja.

Akibat secara psikis antara lain :

a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif,rasa cemas, stress dan perubahan suasana hati.

b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kuran mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

c. Perilaku menolong ( perilaku prososial), tingkat kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untu menolong atau member bantuan pada orang lain yang memutuhkan, terutama pada orang yang tidak dikenal.

d. Kemampuan mengerjakan tugas, siyuasi padat dapat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu.

e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi.

D. D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya

Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991) faktor-faktor sepeti ras, kebiasaan adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur sosial, dan lain-lainnya akan sangat menentukan apakan kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak. Estein (dalam Sears, 1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan kterjadi apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu.

Seperti kita lihat perbedaan kepadatan dikota dengan kepadatan di desa, kepdatan penduduk dikota sudah sangat tidak membuat nyaman selain karena banyaknya penduduk namun di kota sendiri sudah banyak lahan-lahan yang digunakan sebagai gedung-gedung perkantoran, mall, dan padatnya pemukiman-pemukiman disekitarnya sehingga terkadang sudahjarang kita temukan taman-taman di ibukota ini.

Dibandingkan dengan suasana kota, suasana kepadatan di desa mungkin tidak terlalu dirasakan karena di desa masih belum dipadati oleh gedung-gedung bertingkat,perkantoran bahkan polusi sekalipun. Walaupun didesa juga padat oleh penduduk tetapi di desa masih banyak lahan-lahan luas yang member ruang gerak pada penduduknya sehingga jarang kita temukan tingkat kepadatan yang cukup tinggi.

A. Pengertian Kesesakan

Kesesakan adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, bersifat psikis terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik.

Kepadatan memiliki perbedaan dengan kesesakan, walaupun masih belum jelas benar dimana letak perbedaannya. Bahkan banyak dari masyarakat awam yang mendefinisakan antara kepadatan sama dengan kesesakan. Walaupun mungkin kesesakan memiliki level yang lebih tinggi dibanding dengan kepadatan.

Menurut Altman (1975) kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Kepadatan yang tinggi dapat menimbulkan lesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).

Namun Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa suatu keadaan dimana kepadatan bisa dikatakan sebagai kesesakan bila memiliki empat factor:

1. Karakteristik seting fisik

2. Karakteristik seting social

3. Karakteristik personal

4. Kemampuan beradaptasi

Adapun pendapat lain yang dating dari Kapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengungkapkan bahwa kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang tidak dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia. Namun kembali lagi, bahwa kesesakan adalah suatu persepsi. Sehingga kesesakan memiliki makna yang berbeda ditiap individu.

B. Teori- Teori Kesesakan

Teori-Teori kesesakan secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian: Kendala perilaku, teori ekologi, dan beban stimulus.

1. Teori Beban Stimulus

Teori ini muncul karena pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk saat stimulus yang masuk kedalam diri individu melebihi kapasitas nya, sehingga timbul suatu kegagalan pemrosesan stimulus atau informasi dari lingkungannya. Berlebihnya informasi yang masuk dapat terjadi karena beberapa aspek, yaitu:

  • Kondisi fisik yang tidak menyenangkan
  • Jarak fisik antar individu terlalu dekat
  • Suatu percakapan yang tidak diinginkan
  • Terlalu banyak teman dalam berinteraksi
  • Interaksi yang ada terlalu lama.

Namun layaknya proses kognitif, individu juga melakukan suatu penyaringan terhadap semua informasi yang masuk, sehingga informasi yang masuk ke diri individu hanya lah yang menurut individu tersebut penting atau essensial, sedangkan yang lainnya akan menghilang.

2. Teori Ekologi

Menurut Wicker (1976) mengemukakan teorinya tentang meaning. Menurutnya kesesakan muncul karena factor lingkungan dimana hal tersebut itu terjadi.

Analisa terhadap seting meliputi

1. Maintanence Minimum, Yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung.

2. Capacity, jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh suatu lingkungan

3. Aplicant, jumlah penghuni yang mengambil bagian-bagian dalam suatu lingkungan

Ketiga analisa tersebut memiliki suatu hubunga yang saling berkesinambungan, seperti saat applicant lebih sedikit dari pada maintanence minimum, berarti jumlah warga yang dibutuhkan untuk terjadinya suatu aktifitas tidak mencukupi

3. Teori Kendala Perilaku

Teori ini berpendapat bahwa suatu keadaan dapat dikatakan sesak apabila suatu kondisi yang membatasi aktifitas individu tersebut dalam suatu seting. Menurut teori ini, bila timbul gangguan terhadap kebebasan berperilaku, maka akan menimbulkan semacam penolakan psikologis dari dalam diri individu tersebut. Kesesakan timbul karena adanya usaha-usaha yang terlalu banyak, yang membutuhkan energy fisik maupun psikis untuk mengatur tingkat enteraksi yang diinginkan. Energi fisik dipakai untuk menjaga ruang personal yang dimiliki, selain itu juga untuk mempertahankan teritori dari gangguan orang lain. Energy fisiologis timbul ketika individu berusaha mengatur interaksi dengan orang lain.

C. Faktor Pengaruh Kesesakan

1. Faktor Personal

Terdiri dari Kontrol pribadi atau locus of control, yang hal ini berkaitan dengan tingginya kepadatan yang dapat memberikan kontribusi terhadap munculnya kesesakan. Sedangakn budaya memiliki kaitan tentang persepsi masyarakat tentang kesesakan itu sendiri. Dan yang terakhir dalam factor personal adalah jenis kelamin, ditemukan penelitian bahwa pria memiliki pengalaman kesesakan lebih disbanding wanita karena lebih menunjukan sikap reaktif terhadap kondisi tersebut.

2. Faktor Sosial

Faktor-faktor ini berkaitan dengan kehadiran dan perilaku orang lain, formasi koalisi, kualitas hubungan yang berkaitan dengan bagaimana orang lain memiliki suatu cara berpikir yang sama sehingga kesesakan dapat berkurang, dan informasi yang tersedia, dalam artian kesiapan individu tersebut terhadap kesesakan yang akan terjadi. Jika individu tersebut memiliki informasi sebelumnya tentang kepadatan yang terjadi maka ia akan merasa lebihsiap disbanding dengan individu yang tidak memiliki info sama sekali.

D. Pengaruh Kesesakan terhadap Perilaku

  • Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973)
  • Aktifitas seseorang akan terganggu oleh aktifitas orang lain.
  • Disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)
  • Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982)

Minggu, 20 Februari 2011

ARTIKEL

GAYA HIDUP CLUBING REMAJA


Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya. gaya hidup adalah perpaduan antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak berdasarkan pada norma yang berlaku. Oleh karena itu banyak diketahui macam gaya hidup yang berkembang di masyarakat sekarang misalnya gaya hidup hedonis, gaya hidup metropolis, gaya hidup global dan lain sebagainya.


Bentuk-bentuk Gaya Hidup
Menurut Chaney (dalam Idi Subandy,1997) Beberapa bentuk gaya hidup, antara lain :
a. Industri Gaya Hidup
Dalam abad gaya hidup, penampilan-diri itu justru mengalami estetisisasi, "estetisisasi kehidupan sehari-hari" dan bahkan tubuh/diri (body/self) pun justru mengalami estetisisasi tubuh. Tubuh/diri dan kehidupan sehari-hari pun menjadi sebuah proyek, benih penyemaian gaya hidup. "Kamu bergaya maka kamu ada!" adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan kegandrungan manusia modern akan gaya. Itulah sebabnya industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah industri penampilan.
b. Iklan Gaya Hidup
Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan (korporasi), para politisi, individu-individu semuanya terobsesi dengan citra. Di dalam era globalisasi informasi seperti sekarang ini, yang berperan besar dalam membentuk budaya citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) adalah gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang kadang-kadang mempesona dan memabukkan. Iklan merepresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus (subtle) arti pentingnya citra diri untuk tampil di muka publik. Iklan juga perlahan tapi pasti mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat.
c. Public Relations dan Journalisme Gaya Hidup
Pemikiran mutakhir dalam dunia promosi sampai pada kesimpulan bahwa dalam budaya berbasis-selebriti (celebrity based-culture), para selebriti membantu dalam pembentukan identitas dari para konsumen kontemporer. Dalam budaya konsumen, identitas menjadi suatu sandaran "aksesori fashion". Wajah generasi baru yang dikenal sebagai anak-anak E-Generation, menjadi seperti sekarang ini dianggap terbentuk melalui identitas yang diilhami selebriti (celebrity-inspired identity)-cara mereka berselancar di dunia maya (Internet), cara mereka gonta-ganti busana untuk jalan-jalan. Ini berarti bahwa selebriti dan citra mereka digunakan momen demi momen untuk membantu konsumen dalam parade identitas.
d. Gaya Hidup Mandiri
Kemandirian adalah mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan. Nalar adalah alat untuk menyusun strategi. Bertanggung jawab maksudnya melakukan perubahan secara sadar dan memahami betuk setiap resiko yang akan terjadi serta siap menanggung resiko dan dengan kedisiplinan akan terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggung jawab, serta menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut.
e. Gaya Hidup Hedonis
Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak bermain, senang pada keramaian kota, senang membeli barang mahal yang disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dari suatu gaya hidup dapat berupa gaya hidup dari suatu penampilan, melalui media iklan, modeling dari artis yang di idola kan, gaya hidup yang hanya mengejar kenikmatan semata sampai dengan gaya hidup mandiri yang menuntut penalaran dan tanggung jawab dalam pola perilakunya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Hidup
gaya hidup seseorang dapat dilihat dari perilaku yang dilakukan oleh individu seperti kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan atau mempergunakan barang-barang dan jasa, termasuk didalamnya proses pengambilan keputusan pada penentuan kegiatan-kegiatan tersebut.

Faktor internal yaitu sikap, pengalaman, dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif, dan persepsi. penjelasannya sebagai berikut :
a.Sikap. Sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan pikir yang dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek yang diorganisasi melalui pengalaman dan mempengaruhi secara langsung pada perilaku. Keadaan jiwa tersebut sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, kebudayaan dan lingkungan sosialnya.
b.Pengalaman dan pengamatan. Pengalaman dapat mempengaruhi pengamatan sosial dalam tingkah laku, pengalaman dapat diperoleh dari semua tindakannya dimasa lalu dan dapat dipelajari, melalui belajar orang akan dapat memperoleh pengalaman. Hasil dari pengalaman sosial akan dapat membentuk pandangan terhadap suatu objek.
c.Kepribadian. Kepribadian adalah konfigurasi karakteristik individu dan cara berperilaku yang menentukan perbedaan perilaku dari setiap individu.
d konsep diri. Faktor lain yang menentukan kepribadian individu adalah konsep diri. Konsep diri sudah menjadi pendekatan yang dikenal amat luas untuk menggambarkan hubungan antara konsep diri konsumen dengan image merek. Bagaimana individu memandang dirinya akan mempengaruhi minat terhadap suatu objek. Konsep diri sebagai inti dari pola kepribadian akan menentukan perilaku individu dalam menghadapi permasalahan hidupnya, karena konsep diri merupakan frame of reference yang menjadi awal perilaku.
e. Motif. Perilaku individu muncul karena adanya motif kebutuhan untuk merasa aman dan kebutuhan terhadap prestise merupakan beberapa contoh tentang motif. Jika motif seseorang terhadap kebutuhan akan prestise itu besar maka akan membentuk gaya hidup yang cenderung mengarah kepada gaya hidup hedonis.

Adapun faktor eksternal sebagai berikut :
a. Kelompok referensi. Kelompok referensi adalah kelompok yang memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang. Kelompok yang memberikan pengaruh langsung adalah kelompok dimana individu tersebut menjadi anggotanya dan saling berinteraksi, sedangkan kelompok yang memberi pengaruh tidak langsung adalah kelompok dimana individu tidak menjadi anggota didalam kelompok tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut akan menghadapkan individu pada perilaku dan gaya hidup tertentu.
b. Keluarga. Keluarga memegang peranan terbesar dan terlama dalam pembentukan sikap dan perilaku individu.Hal ini karena pola asuh orang tua akan membentuk kebiasaan anak yang secara tidak langsung mempengaruhi pola hidupnya.
c. Kelas sosial. Kelas sosial adalah sebuah kelompok yang relatif homogen dan bertahan lama dalam sebuah masyarakat, yang tersusun dalam sebuah urutan jenjang, dan para anggota dalam setiap jenjang itu memiliki nilai, minat, dan tingkah laku yang sama. Ada dua unsur pokok dalam sistem sosial pembagian kelas dalam masyarakat, yaitu kedudukan (status) dan peranan. Kedudukan sosial artinya tempat seseorang dalam lingkungan pergaulan, prestise hak-haknya serta kewajibannya. Kedudukan sosial ini dapat dicapai oleh seseorang dengan usaha yang sengaja maupun diperoleh karena kelahiran. Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan. Apabila individu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peranan.
d. Kebudayaan. Kebudayaan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh individu sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, meliputi ciri-ciri pola pikir, merasakan dan bertindak.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup berasal dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal). Faktor internal meliputi sikap, pengalaman dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif , dan persepsi. Adapun faktor eksternal meliputi kelompok referensi, keluarga, kelas sosial, dan kebudayaan.

Clubbing
1. Pengertian Clubbing
Clubbing merupakan istilah prokem khas anak muda yang berarti suatu dunia malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sasaat (Perdana, 2004). Melalui clubbing khususnya anak muda merasa menemukan jati diri, disana mereka bisa “berjingkrak-jingkrak” sebebasnya, meneguk alkohol dan narkoba, cekikikan sampai pagi, lalu pulang dalam keadaan teler dan capai. Melalui clubbing mereka bisa menemukan komunitas bergaulnya. Singkatnya clubbing adalah just having fun, sekedar hura-hura dan membutuhkan banyak uang.

Clubbing sudah sangat identik dengan kehidupan masyarakat metropolitan. Tidak hanya menjadi bagian dari gaya hidup, tapi juga menjadi sarana bersosialisasi, bahkan melakukan lobi bisnis. Dulu clubbing selalu diasosiasikan dengan musik menghentak yang dapat membuat orang larut dalam suasana. Seiring perkembangan zaman, clubbing mengalami banyak pergeseran karena tidak semua orang suka musik semacam itu. Pada hakikatnya suasana yang hingar bingar bukan lagi daya tarik utama. Banyak tempat hiburan di Jakarta meninggalkan konsep diskotek dan beralih pada konsep Resto and lounge yang ternyata lebih menarik konsumen usia 25-35 tahun. Kehadiran Resto and lounge yang bertebaran di Jakarta tidak berarti gulung tikarnya beberapa tempat yang benar-benar dirancang bagi yang hobi melantai diiringi musik seorang DJ atau Disc Jockey (www.bintang.com)

Jumlah tempat hiburan malam terus bertambah. Kejenuhan pasar membuat tawaran konsep harus berbeda dengan yang telah beroperasi. HL adalah salah satu tempat clubbing favorit clubbers di Jakarta, pada malam-malam clubbers khususnya ketika discotime dimulai pada jam 11 malam tenpat ini selalu ramai. Para pebisnis entertaiment ini sangat pintar untuk menarik perhatian para clubbers dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang beragam yang menjadi trend setter bagi kalangan night society, misalnya dengan membebaskan para wanita biaya cover charge dan membiarkan mereka clubbing sepenuhnya agar kaum wanita yang datang membludak dan kaum pria akan terpancing untuk datang ketempat tersebut. Selain itu dengan memberikan free flow vodka and champagne for ladies all night (memberikan minum vodka dan champgne untuk wanita sepanjang malam), bahkan yang lebih berani adalah menjual program yang berbau sexy, seksual yang menjadi fokus utama (www.popular.maj.com).
Adat dan tradisi masa lalu benar-benar tergeser dengan adanya perkembangan dunia yang semakin pesat. Dengan kecanggihan pengetahuan dan teknologi industrialisme. Bangsa barat berhasil merangsak bangsa-bangsa timur (terutama yang berbaris Islam) dengan produk-produknya yang ditumpangi oleh warna-warna budaya barat yang sangat kontras dengan moralitas dan religiusitas bangsa timur. Misalnya dengan adanya trend fashion yang pamer aurat, dentum musik yang merangsang kelalaian hati terhadap Allah, ajang pergaulan bebas yang memanjakan syahwat setan hingga sarana-sarana teknologis yang membutuhkan solidaritas sosial. Semua produk yang dipromosikan secara massal tersebut sebenarnya merupakan bentuk baru penjajahan neo-kolonisme. Ironisnya, kebanyakan dari kita terutama kaum clubbing sama sekali tidak menyadari ancaman-ancaman moralitas dan martabat dari invasi tersebut, justru memantapkan diri sebagai bagian penyembah dan budak dari penjajahan kapitalisme tersebut yang sesuai dengan ideologi mereka just having fun.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa clubbing merupakan suatu kegiatan untuk datang dan menikmati suasana, suguhan hiburan, makanan dan minuman di tempat-tempat hiburan malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sesaat.

2. Pelaku Clubbing
Mayoritas para clubbers adalah para generasi muda yang memiliki status sosio-ekonomi yang cukup baik. Ini terlihat dari kebutuhan-kebutuhan material yang menopang aktivitas clubbing yang jelas membutuhkan dana ekstra. Mulai dari pemilihan pakaian yang bermerek, properti, kendaraan, hingga perangkat clubbing itu sendiri. para pelaku clubbing itu tidak hanya para generasi muda yang notabennya sebagai pelajar dan mahasiswa, tetapi para eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses, bahkan ibu rumah tangga ada juga yang menjadi para pelaku clubbing.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa para pelaku clubbing itu mayoritas berasal dari para generasi muda, para eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses dan ibu rumah tangga pun juga ada yang melakukan clubbing.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Clubbing
Kaum clubbers secara logis dalam konteks ini adalah kaum plagiator yang mengimpor secara mentah-mentah gaya hidup dunia barat kedalam kehidupan sosial mereka. Di kalangan para clubbers, ada tiga narasi yang selalu melandasi cara pandang dan perilakunya, yakni gaul, funcy, dan happy dimana kesemuanya berlabuh pada satu narasi besar (grand naration) yakni gensi. Tidak jelas siapa yang mulai melontarkan dan mempopulerkan istilah tersebut, disini Perdana (2004) dalam bukunya yang berjudul “Dugem : ekspresi cinta, seks, dan jati diri” menjelaskan wujud ekspresi dari ketiga narasi tersebut. Hal tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi generasi muda melakukan clubbing. Adapun faktor-faktornya adalah :
a. “Gaul”, istilah “gaul” berasal dari kata baku “bergaul” atau “pergaulan” yaitu sebuah sistem sosial yang terbentuk melalui interaksi, komunikasi dan kontak sosial yang melibatkan lebih dari satu orang. Akan tetapi dalam komunitas clubbing, istilah “gaul” bukan lagi menjadi “media sosialisasi” untuk melengkapi fitrah kemanusiaannya, melainkan kebanyakan telah menjadi “ajang pelampiasan hawa nafsu”. Kebanyakan bentuk “gaul” ini justru menjadi pintu gerbang bagi lahirnya generasi-generasi penganut seks bebas, pecandu narkoba, hingga pelacuran dan penjahat sosial.
b. Funcy, istilah funcy secara aksiologis tanpa memperdebatkan wacana epitemologisnya, istilah funcy selalu berlekatan dengan istilah “gaul”. Pemaknaan funcy selalu dipertautkan dengan bentuk-bentuk eksperimentasi yang tanpa landasan argumentasi yang jelas, sekedar mencari sensasi dan pelampiasan emosi-emosi jiwa yang tidak terkendali. Ini bisa dilihat dari hasil eksperimentasi mereka dalam hal kostum, kendaraan, fisik dan gaya hidup.
c. Happy, istilah happy berasal dari bahasa inggris yang berarti bahagia, selalu bahagia. Dengan “bergaul”, berinteraksi dan membaur dalam warna komunitas “bergaul”nya, kaum remaja merasa menemukan jati diri yang tepat dengan selera dan jiwa mudanya daripada apa yang didapatkan dari lingkungan keluarga. Mereka merasa menemukan kebahagiaan sejati disini yaitu bebas berbuat apa saja, banyak teman, termasuk bebas menyalurkan gelora libido seksualnya. Namun kebahagiaan yang mereka dapatkan adalah kebahagiaan semu.

Clubbing merupakan salah satu gaya hidup di zaman sekarang yang merupakan hasil adopsi dari negara-negara barat. Seseorang melakukan clubbing ada kemungkinan besar karena terinspirasi akan kehidupan para selebritis, orang-orang terkenal, orang-orang yang bekerja di bidang intertainmen dalam memperoleh kesenangan. Clubbing dipandang oleh individu sebagai gaya hidup yang modern. Piliang (2006) menyatakan bahwa individu dalam mengikuti gaya hidup modern dipengaruhi oleh faktor intern dan faktor ekstern.

Faktor intern merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu berhubungan dengan minat dan dorongan seseorang untuk melakukan kegiatan yang diinginkan sesuai dengan perasaan hati. Selain itu, faktor intern individu melakukan clubbing dipengaruhi sikap. Sikap lebih cenderung berhubungan dengan kepribadian individu dalam menentukan suatu fenomena yang ditemui dalam kehidupannya (Piliang, 2006).
Dilanjutkan oleh Piliang (2006) bahwa faktor ektern merupakan faktor di luar individu yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Faktor ekstern ini dibedakan atas faktor keluarga dan faktor lingkungan sosial. Faktor lingkungan keluarga yang kurang harmonis berdampak pada anggota keluarga untuk mencari kesenangan di luar rumah dan clubbing merupakan satu pilihan untuk mencari kesenangan tersebut. Adapun faktor lingkungan sosial merupakan faktor sosial individu dalam kegiatannya sehari-hari. Individu yang memiliki sifat tidak tetap pendiriannya akan mudah terpengaruh oleh keadaan lingkungan sosial, di mana individu melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Apabila lingkungan sosial cenderunng dalam kehidupan clubbing, maka ada kemungkinan besar individu tersebut juga masuk dalam lingkungan yang menyenangi gaya hidup clubbing.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi generasi muda untuk melakukan clubbing adalah faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang berasal dari individu berhubungan dengan minat, motivasi, dan sikap (untuk hidup funcy dan happy). Adapun faktor ekstern berasal dari lingkungan keluarga dan lingkungan sosial (berhubungan dengan pergaulan individu).

Sabtu, 27 November 2010

PENANGANAN DAN RELOKASI BECANA MERAPI

NAMA KELOMPOK :
1. ANDI SITI NUR ISNAENI (10508016)
2. DYAH . ANGGRAENI (10508274)
3. FERONICA INDAH (10508080)
4. MARISSA DESSY (10508128)

AWAL BENCANA MERAPI.

Sejak letusan pertama (26/11/2010), Merapi telah menyemburkan material vulkanik sekitar 100 juta meter kubik (m3). Sekitar 100 juta m3 material vulkanik itu menyebar ke sector selatan, barat daya, tenggara, barat dan utara yang diantaranya meliputi kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, serta Kabupaten Klaten, Boyolali dan Magelang di Jawa Tengah terus menyemburkan awan panas hingga rabu (10/11/2010).
Gunung merapi terlihat jelas dari berbagai daerah, seperti dari kota Yogyakarta, cangkringin, sleman, dan manisrenggo (klaten). Sejak pagi hingga pukul 10.00 awan panas itu membumbung tinggi bergerak kearah barat. Namun tidak terdengar dentuman dari arah puncak merapi, gunung teraktif didunia ini masih berstatus awas.
Gelombang awan panas tak putus-putusnya keluar dari puncak beserta material letusan lava dan abu yang diiringi gemuruh. Puncaknya terjadi pada Jumat pukul 00.30. suara gelegar besar terdengar hingga radius 30 km dan hujan pasir hingga radius 15 km. hujan abu vulkanik juga terjadi hingga kota Yogyakarta yang berjarak lebih dari 30 km di selatan Merapi. Bahkan hingga kabupaten Tegal dan Brebes, Jawa Tengah.



PENANGANAN BENCANA

1. Membangun lapangan pekerja bagi pengungsi merapi terutama kaum pria untuk bisa menghidupi kembali keluarganya, dengan membantu membuat kerajinan miniature merapi sebagai peristiwa yang tak akan terlupakan dari bumi Jogja. Hal ini diupayakan agar mereka dapat membangun kembali perekonomian mereka, terutama bagi pengungsi yang bertransmigrasi ke sambas, Kalimantan barat.
2. Membangun tempat tinggal yang memadai untuk setiap kepala keluarga sehingga mereka dapat hidup nyaman, selama perekonomian mereka dimulai dari nol.
3. Memfasilitasi kesehatan selama keadaan lingkungan belum bisa dikatakan aman dari sumber penyakit, seperti abu vulkaik , terutama untuk anak-anak lansia.
4. Mengembangkan kerajinan atau kemampuan yang dimiliki pengunsi terutama kaum wanita untuk membantu perekonomian keluarganya.
5. Mendirikan kembali sekolah untuk anak-anak yang sempat vakum sekolah pasca becana.
6. Membangun kembali semangat hidup para pengungsi dengan hiburan dan joke-joke agar keadaaan psikologis mereka tidak tertekan dengan merilex kan pikiran mereka.
7. Memberikan siraman rohani pada setiap agama yang dianut agar diberikan kesabaran yang tiada batas becana yang merenggut banyak nyawa dan harta benda.
8. Memantau perekonomian mereka untuk mengetahui kelayakan kehidupan mereka pasca becana.

RELOKASI BENCANA

Pemerintah mulai membahas masalah relokasi warga lereng gunung merapi pasca bencana, pemerintah akan melakukan perencanaan yang matang dan menyeluruh.
Relokasi harus memperhatikan aspek-aspek budaya, sosial, ekonomi,dan geografi. relokasi harus menjadi solusi untuk mengurangi resiko sosial, karena penduduk lereng Gunung Merapi memiliki keahlian tertentu, seperti bertani, berternak dan berkebun. kecocokan mata pencarian dan cuaca juga perlu diperhatikan, sebab jika tidak diperhatikan sebagian besar peternak sapi jika direlokasikan ke gunung kidul, maka usaha mereka terkendala cuaca yang kurang cocok bagi pertenakan sapi. selain itu belum tentu juga mata pencarian dilokasi yang baru sesuai dengan lokasi yang lama, sebab mereka memiliki keahlian tertentu.

Sabtu, 30 Oktober 2010

PSIKOLOGI KELOMPOK

KELOMPOK:

MARISSA(10508128)
DYAH ANGGRAENI
ANDI SITI.N
FERONIKA INDAH(10508080)


Kata Pengantar

Pertama-tama kami ucapkan terima kasih dan panjatkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena denganNya, makalah Psikologi kelompok dapat terselesaikan.
Tujuan makalah ini dibuat untuk tambahan pengetahun tentang konflik kelompok dalam negeri maupun luar negeri dan menambah nilai sebagai tugas mata pelajaran psikologi kelompok. Oleh karena itu kami menyampaikan terima kasih kepada sumber – sumber yang sudah membantu kami dalam pembuatan makalah ini hingga selesai.
Demikianlah makalah ini kami buat dengan apa adanya. Oleh karena itu kami mohon maaf sebesar - besarnya bila ada kesalahan tulis, ejaan, nama, gelar, maupun kesalahan-kesalahan lain baik yang kami sadari maupun yang tidak kami sadar.


BEKASI,OKTOBER 2010

PENDAHULUAN

Konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. Konflik sosial tidak hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan, dan masalah kekuasaan, tetapi emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik. Bentuk dan sifat konflik dalam kehidupan sosial tidak selalu sama. Terdapat variasi dalam konflik, baik menyangkut bentuk, sifat, maupun penyebab terjadinya sehingga cara penyelesaiannya pun berbeda. Dalam persoalan konflik konteks struktur dan fungsi kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan harus diperhatikan, karena masyarakat sebagai suatu unit entitas akan sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan kelangsungan konflik.
Peter M. Blau (1977) menyatakan bahwa struktur adalah penyebaran secara kuantitatif warga komunitas di dalam berbagai posisi sosial yang berbeda yang mempengaruhi hubungan diantara mereka (termasuk di dalamnya hubungan konflik). Karakteristik pokok dari struktur yaitu adanya tingkat ketidaksamaan antar bagian dan konsolidasi yang timbul dala, kehidupan bersama sehingga mempengaruhi derajat hubungan antar bagian tersebut yang berupa dominasi, eksploitasi, konflik, persaingan, dan kerjasama. Blau mengelompokkan basis parameter pembedaan struktur menjadi dua, yaitu nominal dan gradual. Parameter nominal membagi komunitas menjasi sub-sub bagian atas dasar batas yang cukup jelas, seperti agama, ras, jenis kelamin, pekerjaan, marga, tempat kerja, tempat tinggal, afiliasi politik, bahasa, nasionalitas, dan sebagainya. Pengelompokan nominal ini bersifat horisontal dan akan melahirkan berbagai ’golongan’. Adapun parameter gradual membagi komunitas ke dalam kelompok sosial atas dasar peringkat status yang membedakan perbedaan kelas, seperti pendidikan, pendapatan, kekayaan, prestise, kekuasaan, otoritas, intelgensia, dan sebagainya. Pengelompokan ini bersifat vertikal dan akan melahirkan berbagai stratifikasi atau lapisan sosial. Atas dasar struktur sosial tersebut, maka interaksi antarbagian dalam kehidupan bersama dapat terjadi antar kelompok baik atas dasar parameter nominal maupun parameter gradual, bahkan tidak hanya secara internal tetapi juga secara eksternal. Interaksi sosial antarbagian dalam kehidupan sosial atas dasar parameter nominal dan gradual tersebut potensial menimbulkan konflik baik antar individu mapun kelompok yang menjadi anggota dari ’golongan’ atau ’lapisan sosial’ tertentu. Dahrendorf (1986) mengemukakan bahwa konflik sosial mempunyai sumber struktural, yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial. Dengan kata lain, konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut keabsahan hubungan kekuasaan yang ada atau dari struktur sosial setempat.


DATA


1. JURNAL PERAN SERTA MASYARAKAT DAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI INDONESIA.

Jurnal ini mencoba untuk menjelaskan dua kasus konflik di Aceh dan Maluku yang benar-benar intensif dan melibatkan banyak pihak. Ada dua aspek yang dipelajari, pertama, aspek memicu dan menyebabkan panjang berlarut-larut konflik di daerah kedua yang. Kedua, program strategis yang menekankan peran serta masyarakat dan dukungan tentang lembaga negara digunakan membangun stabilitas politik.
pemerintah dan rakyat Indonesia dihadapkan kepada situasi baru pasca konflik yang meninggalkan sejumlah masalah yang rumit. Khususnya pasca konflik di Aceh dan Maluku, telah meninggalkan pengalaman traumatis, problema besar yang di hadapi adalah rusaknya pranata sosial budaya dan infra struktur dalam kehidupan di daerah konflik. Karena itu, sangat diperlukan strategi yang tepat untuk membangun kembali stabilitas politik dengan melibatkan peran serta masyarakat dan negara untuk pemulihan (recovery) pasca konflik. Dari berbagai konflik dengan klasifikasinya ada beberapa masalah pasca konflik yang dapat diidentifikasi, baik dari segi ekonomi, hukum, politik dan sosial budaya, di antaranya:
1. Hancurnya sumber-sumber kehidupan, harta serta mata pencaharian penduduk di daerah konflik yang menimbulkan beban berat bagi pemerintah pusat.
2. Ketidakpastian keamanan dan lemahnya jaminan hukum menyebabkan terjadinya pengungsian massal guna menghindari korban konflik.
3. Kebebasan demokrasi menjadi tidak sehat, karena dalam prosesnya di warnai politik kekerasan dari penguasa, elit politik dan masyrakat.
4. Terjadinya perilaku politik yang bersifat egosentris dan komunal di kalangan elit lokal menciptakan ketidak harmonisan berbagai element masyarakat.
5. Terjadinya intervensi ’asing’ secara sistematis di kawasan konflik, untuk menggoyahkan eksisitensi ideologi dan kedaulatan wilayah negara.
6. Timbulnya rasa takut, curiga berkepanjangan, menguatnya komunalisme, kedaerahan dan disharmonisasi kelompok masyarakat.
7. Hancurnya pranata-pranata sosial budaya masyarakat yang selama ini berfungsi sebagai perekat.

Upaya penyelesaian secara strategis berbagai konflik di Indonesia sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia dan akan berpengaruh terhadap; Pertama, kestabilan negara dan partisipasi masyarakat Indonesia di berbagai bidang, mendorong kokohnya demokrasi politik, mantapnya ekonomi dan tangguhnya keamanan kawasan, mengukukan kembali Indonesia yang menjadi negara yang selalu di perhitungkan dalam percaturan politik Internasional. Kedua, terbebasnya kawasan Indonesia dari keadaan konflik internal yang berkepanjangan, dapat lebih fokus untuk pencapaian agenda-agenda penting nasional, berbagai isu regional maupun global. Ketiga, teratasinya konflik di di kawasan Indonesia bedampak memantapkan kestabilan di berbagai bidang kegiatan di kawasan Asia Tenggara. Keempat, memberi ruang sosial yang kondusif guna tercapainya akselerasi partisipasi dan pemberdayaan politik, ekonomi, pemulihan ketentraman dan penguatan nilai sosial budaya masyarakat dari berbagai lapisan sosial serta penguatan wibawa pemerintah.



2. ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL
DI KALIMANTAN BARAT (*Maria Lamria*)

Mengingat begitu beragamnya latar belakang dan tingkat sosial masyarakat, maka persoalan hak dan kewajiban senantiasa muncul menjadi konflik social yang berkepanjangan dan terjadi di berbagai daerah. Konflik yang menggunakan simbol etnis, agama dan ras muncul yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta bagi pihak yang bertikai. Dengan demikian juga terjadi pelanggaran hak hidup damai dan sejahtera dalam bermasyarakat.
Keragaman suku bangsa merupakan kekuatan bangsa Indonesia. Kemampuan untuk mengelola keragaman suku bangsa yang besar diperlukan untuk mencegah terjadinya perpecahan yang akhirnya akan mengganggu kesatuan bangsa.
Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi penyebab terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat.
Seperti halnya konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan aparat hukum terhadap Suku Asli Dayak dan Suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam yang meledak dalam bentuk konflik -konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang termarjinalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif yang mengeksploitasi kekayaan alam mereka. Sementara penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kasus yang terjadi ini menunjukkan sulitnya penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah penyebab terjadinya konflik horizontal di Kalimantan Barat serta penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat setempat.



3. Jurnal Pengaruh Stres, Konflik dan Hukuman Disiplin Terhadap
Produktivitas Kerja Pegawai di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3
Samarinda Kalimantan Timur

Susanto
M. Wahyuddin

a. Latar belakang
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai salah satu instansi pemerintah yang berada di bawah naungan Departemen Keuangan RI berdasarkan PeraturanMenteri Keuangan Republik Indonesia No. 131/PMK.D1/2006, tentang organisasi dan tata kerja Departemen Keuangan Republik Indonesia dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 133/KMK.01/2006 tentang organisasi dan tata kerja instansi vertikal Direktorat Jendral Bea dan Cukai, dalam melaksanakan tugasnya telah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi di bidang kepabeanan dan cukai dengan melakukan reorganisasi. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi perlunya reorganisasi di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 466/KMK.01/2006) antara lain: Perkembangan praktek perdagangan internasional, perdagangan teknologi informasi, meningkatnya tuntutan masyarakat, Reformasi bidang kepabeanan, dan Amandemen UU No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan dan UU No. 11 tahun 1995 tentang Cukai dengan UU No. 17 tahun 2006 tentang perubahan UU No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan.
Selaku institusi pemerintah yang menyelenggarakan fungsi trade facilitation
maka Direktorat Jenderal Bea dan Cukai senantiasa dituntut untuk menyempurnakan sistem dan prosedur pelayanan dan pengawasan sesuai perkembangan yang terjadi dalam praktek perdagangan internasional, Perubahan kebijakan pemerintah, perdagangan teknologi informasi, dalam rangka mempercepat proses penyelesaian kewajiban pabean, meminimalkan investasi pejabat dalam pengambilan keputusan serta mengotimalkan kinerja di bidang pengawasan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pelayanan dan pengawasan di bidang kepabeanan dan cukai. Reorganisasi Departemen Keuangan yang dilakukan dalam rangka menciptakan organisasi yang dapat berfungsi sesuai dengan prinsip good govermance pimpinan Departemen Keuangan mereformasi dan mereposisi tugas dan fungsi unit-unit kerja di lingkungan departemen, khususnya pimpinan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
dengan mempercepat program reformasi. Ketidaksempurnaan struktur organisasi yang berjalan selama ini mengakibatkan beberapa masalah dalam pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi antara lain: Struktur organisasi tidak relevan, tugas dan fungsi tidak dapat dilaksanakan, dan tugas dan fungsi tumpang tindih. Terdapat tiga kondisi yang mengindikasikan terjadinya tumpang tindih tugas dan fungsi pada unit organisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 466/KMK.01/2006) yaitu: (1) Tugas dan fungsi operasional baik di bidang pelayanan maupun pengawasan secara umum; (2) Tugas dan fungsi yang sama diselenggarakan oleh 2 unit organisasi atau lebih; (3) Tugas dan fungsi yang mempunyai output yang identik dilakukan oleh 2 unit organisasi atau lebih. Di sini jelas bahwa tujuan dari reorganisasi pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah agar tercipta organisasi pemerintah yang sensitif dan akomodatif, terhadap perkembangan pelaksanaan tugas sebagai konsekuensi dan penyempurnaan yang dilakukan di bidang sistim dan prosedur pelayanan dan pengawasan baik di bidang impor, ekspor, dan cukai. Dengan reorganisasi diharapkan dapat tercipta keselarasan pendayagunaan teknik informatika dengan SDM, sehingga tercipta efisiensi dan efektivitas organisasi melalui pengelompokan kerja yang harmonis. Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Samarinda, Kalimatan Timur, memiliki peran strategis dalam melakukan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar, dengan jumlah pegawai yang hanya 66 orang dengan frekuensi pekerjaan yang cukup padat sebagai dampak dari reorganisasi, menuntut kesadaran dan motivasi yang
tinggi dari pegawai. Sebagai dampat dari reorganisasi tersebut tak jarang pegawai di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Samarinda, Kalimatan Timur mengalami stres, konflik internal maupun eksternal, sehingga mengharuskan Pimpinan memberlakukan hukuman disiplin terhadap Pegawai yang melakukan pelanggaran. Hartati, 2005. Pengujian hipotesis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara variabel pendidikan, kompensasi, promosi, dan konflik dalam organisasi terhadap motivasi kerja pegawai di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di Kabupaten Karanganyar, baik secara individual maupun bersama-sama. Wong, 2006. Hasil penelitian memperkirakan bahwa penawaran kerja, pengendalian kerja, dan dukungan supervisor signifikan dan berpengaruh langsung terhadap WLC. Papa, 1998. Pendidikan membutuhkan kolaborasi pelatihan training agar unggul dalam pelayanan profesional pada pusat sekolah kesehatan. Pelatihan pada sekolah kesehatan memberikan muatan kedisiplinan dalam lembaga akademik. Karatepe, 2006. Studi ini mengembangkan dan menguji sebuah model yang menginvestigasi pengaruh dari konflik kerja keluarga, kelelahan secara emosional, motivasi intrinsik dalam mempengaruhi hasil kerja dengan menggunakan data dari garis depan pekerja di hotel Northern Cyprus. Hasil mengunjukkan bahwa konflik kerja keluarga secara positif berhubungan dengan kelelahan emosional. Konflik kerja keluarga ditemukan tidak mempengarhui kepuasan kerja. Harold (2006), menyimpulkan, ketika orang berkolaborasi dalam bekerja, konflik selalu muncul. Memahami sumber konflik dan kemajuannya, resolusi dan hasil merupakan aspek utama dalam kepemimpinan. Penyebab konflik meliputi kesalahpahaman dalam berkomunikasi, emosi yang dikeluarkan, sifat individu dan nilai-nilai. Terdapat konsekuensi serius bila menghindar atau kesalahan mengelola ketidak setujuan. Pemimpin yang memiliki informasi dapat mencegah konflik secara efektif.

B. Tujuan penelitian

(1) Untuk menganalisis faktor stres, konflik, dan hukuman disiplin berpengaruh terhadap produktivitas kerja di kantor Pelayanan Jalan Tol dan Cukai Tipe A3 Samarinda Timur Kalimantan;
(2) Untuk meletakkan fakta yang paling dominan terbuka atau dalam mempengaruhi roduktivitas pegawai bekerja di Kantor Pelayanan Tol dan Cukai Tipe A3 Samarinda Kalimantan Timur. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan sampling aksidental. Metode yang digunakan saat ini penelitian adalah biner logistik regressio. Akurasi model regresi uji yang digunakan untuk menilai akurasi regresi model dalam penelitian ini diukur dengan nilai Chi-Square dengan Hosmer Test dan Lemeshow.
Hasil analisis regresi logistik biner diperoleh bahwa variabel bebas yang terdiri dari stres, konflik, dan hukuman disiplin berpengaruh positif dan signifikan pada pekerjaan
produktivitas. Hasil uji harapan B yang stres variabel sebesar 1.640, variabel konflik
sebesar 1.364, dan variabel disiplin hukuman sebesar 1.345. Hasil uji Koefisien Beta
adalah stres variabel sebesar 0.495, variabel konflik sebesar 0.311, dan hukuman disiplin
sebesar 0.296 variabel. Dari hasil uji ekspektasi B dan koefisien beta dapat diketahui bahwa terbesar stres variabel kontribusi dalam mempengaruhi produktivitas kerja dibandingkan dengan konflik variabel dan hukuman disiplin. Kata Kunci: stres, konflik, hukuman disiplin, dan produktivitas kerja.

C. HASIL PENELITIAN
1. Uji Validitas
a. variabel stres (X1)
Korelasi antara ke sepuluh butir pertanyaan dengan skor total kesemuanya lebih besar dari r 0,244 (r hitung > r tabel), sehingga semua butir pertanyaan tentang variabel stres dinyatakan valid. Butir pertanyaan yang mempunyai tingkat validitas tertinggi adalah pertanyaan nomor 6 dengan koefisien korelasi 0,593, sedangkan butir pertanyaan yang mempunyai tingkat validitas paling rendah adalah butir pertanyaan 4 nomor 8 yaitu 0,306.

b. variabel konflik (X2)
Korelasi antara ke 10 butir pertanyaan dengan skor total kesemuanya lebih besar dari r tabel 0,244 (r hitung > r tabel), sehingga semua butir pertanyaan tentang konflik dinyatakan valid. Butir pertanyaan yang mempunyai tingkat validitas tertinggi adalah pertanyaan nomor 8 dengan koefisien korelasi 0,729, sedangkan butir pertanyaan yang mempunyai tingkat validitas paling rendah adalah butir pertanyaan nomor 1 yaitu 0,319.

c. Hukuman Disiplin (X3)
Korelasi antara ke 10 butir pertanyaan dengan skor total kesemuanya lebih besar dari r 0,244 (r hitung > r tabel), sehingga semua butir pertanyaan tentang hukuman disiplin dinyatakan valid. Butir pertanyaan yang mempunyai tingkat validitas tertinggi adalah pertanyaan nomor 6 dengan koefisien korelasi 0,793, sedangkan butir pertanyaan yang mempunyai tingkat validitas paling rendah adalah butir pertanyaan nomor 2 yaitu 0,577.



4. Jurnal Reklamasi Singapura sebagai Potensi Konflik Delimitasi Perbatasan Wilayah Indonesia-Singapura

A. Latar belakang
Masalah kurangnya ruang geografis menggabungkan dengan meningkatnya jumlah penduduk karena dipimpin h pemerintah Singapura untuk melanjutkan kebijakan nasional di reklamasi. Namun kebijakan seperti ini memiliki dampak merugikan pada hubungan bilateral Indonesia-Singapura yang dapat menimbulkan potensi konflik di masa depan. Proses reklamasi dengan ngapore Si dapat menciptakan konflik delimitations potensial di perbatasan Indonesia-Singapura karena reklamasi akan menahan kedaulatan Indonesia. Pemerintah harus mengambil perhatian lebih serius dengan potensi konflik dengan meningkatkan kesadaran keamanan di sepanjang perbatasan Indonesia. Kata kunci: reklamasi, delimitations, konflik, Singapura, Indonesia, perbatasan.

B. Potensi Konflik Akibat Belum Tuntasnya Perjanjian Perbatasan Indonesia -
Singapura Tahun 1973
Indonesia dan Singapura telah menyepakati batas maritime internasional di Selat Singapura. Kedua negara menandatangani perjanjian batas Taut territor ial pada tanggal 25 Mei 1973, yang menetapkan enam titik batas yang lebih dikenal dengan sebutan v-line sebagai titik belok garis batas. Sejak kedua negara rneratifikasi, maka perjanjian tersebut secara resmi berlaku dan mengikat secara hokum.
Patut diperhatikan, perjanjian tersebut ternyata belum menyelesaikan delimitasi Batas maritim untuk keseluruhan kawasan maritim yang seharusnya didelimitasi. Perjanjian perbatasan tahun 1973 hanya menyepakati 6 titik seperti disebutkan di atas. Sementara itu, masih ada segmen di sebelah barat dan timur yang harus diselesaikan. Sedangkan, Singapura sendiri sangat aktif melakukan reklamasi dan konstruksi pelabuhan, yang berakibat pada perubahan bentuk pantainya. Reklamasi secara signifikan telah menggeser garis pantai Singapura ke arah selatan atau ke arah kedaulatan wilayah Indonesia. Berikut adalah gambar peta kawasan yang harus didelimitasi oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan perkembangan proyek reklamasi.

5. Jurnal Konflik Kepentingan Antara Amerika Dan Kelompok ISLAM
FUNDAMENTALIS (Chairil N siregar)


A. Latar Belakangn Masalah
Negara yang merasa memiliki ekonomi yang baik, sumber daya manusia yang potensial, dan keuangan yang kuat menpunyai banyak kepen-tingan, terutama kepentingan untuk menguasai perekonomian dunia. Ber-bagai cara dilakukan untuk memenuhi kepentingan tersebut, bahkan tidak jarang dilakukan dengan cara yang tidak etis kadang-kadang menjurus pada tindakan HAM dan kriminal. Hal ini dapat dilihat dari tindakan atau strategi yang dilakukan negara adikuasa seperti Amerika Serikat.
Untuk memenuhi kepentingan ekonominya salah satu caranya dengan menguasai sumberdaya alam negara lain, apakah itu minyak, gas, intan, emas, tembaga, bahkan uranium. Untuk dapat menguasai sumber daya alam tersebut berbagai cara dilakukan, tidak jarang intelijen turut berperan dalam mengatur strategi. Bila diamati secara cermat, negara yang kaya akan sumberdaya alamnya, mayoritas penduduknya ber-agama Islam. Dalam agama Islam, manusia diwajibkan untuk berusaha atau melakukan aktivitas dalam memper-tahankan hidupnya selagi tidak ber-tentangan dengan syariat Islam, atau tidak merusak lingkungan sosial alam. Di sisi lain Amerika memiliki budaya dan kepercayaan yang berbeda dengan negara-negara yang ber-penduduk mayoritas beragama Islam, bahkan tidak jarang bertolak belakang.


B. permasalahan yang terjadi
1. Tindakan Amerika yang semena-mena terhadap negara-negara berpenduduk mayoritas.
Islam perlu dipikirkan oleh seluruh umat Islam, terutama OKI
2.Siapa sebenarnya Teroris? Negara-negara berkembang khususnya Negara yang
berpenduduk mayoritas muslim sering menjadi bulan-bulanan, bahkan lebih dari itu
sampai dikatakan sebagai sarang teroris, istilah terroris sampai sekarang belum ada kata
sepakat tentang definisinya.


KESIMPULAN

Konflik adalah suatu kenyataan yang tidak terhindarkan jika pihak-pihak yang bertentangan tidak memiliki pemahaman yang terhadap satu sama lain dan tujuan serta kebutuhan mereka tidak dapat lagi sejalan. Perbedaan pendapat yang terjadi di antara keduanya pada dasarnya adalah hal yang alami, namun jika tidak terkendali akan menjadi pemicu timbulnya kekerasan yang merusak kedua belah pihak bahkan lingkungan sekitarnya. Untuk itu diperlukan penyelesaian yang memberikan semangat damai pada kedua belah pihak. Jika konflik yang menyebabkan timbulnya kekerasan dapat diselesaikan tanpa melakukan kekerasan memberikan suatu rasa damai dan aman pada masyarakat sekitarnya. Sebaliknya, jika diselesaikan juga dengan kekerasan yang membabibuta akan menyebabkan timbulnya rasa takut, tidak aman, kepanikan bagi orang sekitarnya, khususnya bagian dari masyarakat yang bertikai. Permasalahan baru juga akan timbul dari penyelesaian dengan jalan kekerasan.
Selanjutnya Simon Fisher dkk, mengajukan suatu konsep tentang arti kekerasan sebagai suatu pendekatan dalam intervensi konflik yang menyebutkan bahwa konflik adalah fakta kehidupan yang dapat memunculkan permasalahanpermasalahan berat saat kekerasan muncul dalam konflik tersebut. Oleh karenanya dapat dibedakan antara kelompok yang menghendaki kekerasan sebagai penyelesaian konflik dan kelompok yang anti kekerasan. Kelompok yang pro kekerasan cenderung untuk memaksakan kehendaknya agar dituruti orang lain ketika cara lain yang ditempuh gagal. Sedangkan kelompok anti kekerasan cenderung percaya bahwa kekerasan tidak akan mampu mendatangkan manfaat yang diharapkan diharapkan, sehingga penggunaan kekerasan dirasa tidak bermanfaat dan tidak adil. Secara praktis tindakantindakan anti kekerasan dilakukan masyarakat yang menerapkan metode anti kekerasan secara mutlak mereka lebih percaya bahwa metode anti kekerasan yang diterapkan dalam suatu konflik akan lebih berhasil dalam situasi yang mereka hadapi sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arif. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hasan, Abdullah. 1998. Berkonflik dan Berunding. Malaysia : Utusan Publications & Distributors Sdn BHD.
Alqadarie Syarief I. (2000). Laporan Akhir Hasil Penelitian Pertikaian antar
Komunitas Madura Kalimantan Barat dengan Dayak 1996/97 dan antara
Komunitas Madura Sambas dengan Melayu Sambas Tahun 1998/1999 di
Kalimantan Barat. Kerjasama Yayasan Ilmu-ilmu Sosial Jakarta-dengan
Fisipol Untan-Pontianak.
Fisher Simon, Ibrahim Dekka, dkk. (2002) “Working with conflict’ : Skill &
Strategies for Action. New York.Responding To Conflict.
Jurnal Hukum dan Pemikiran Nomor I, Tahun 2 Januari- Juni 2002.
Laporan Khusus Gubernur Kalimantan Barat 1997.
Soekanto Soeryono; 1990. Suatu Pengantar. Raja Wali Press, Jakarta.
Sunaryo Thomas. “Manajemen Konflik dan Kekerasan”. Makalah pada
Sarasehan tentang Antisipasi Kerawanan Sosial di DKI Tanggal 15-17
September 2002.
Abidin, Hasanuddin Z, dkk. 2005. Geodetic Datum of Indonesian Maritime Boundaries: Status and Problems.
Dhyatmika, Wahyu dkk. "Kelilipan Politik Pasir", Tempo, Edisi 26 Februari-4 Maret 2007.
Alwi, Syafaruddin, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, BPFE, Yogyakarta;

Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, PT, Rineka Cipta,
Jakarta;