Jumat, 10 Juni 2011

Hubungan Stres dengan Psikologi LingkunganStres

Hubungan Stres dengan Psikologi LingkunganStres

1.Apakah stress itu, jelaskan?

Jawab:

A. Pengertian Stres dikemukakan oleh beberapa ahli:

  1. Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) mendefinisikan stress sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya.
  2. Menurut Lazarus (1976) stress adalah suatu keadaan psikologi individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal.
  3. Sedangkan korchin (1976) keadaan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang.
  4. Sarafino (1994) mengkonseptualisasikan kedalam tia pendekatan, yaitu
  • Stimulus: Mengetahui sumber atau penyebab ketegangan berupa keadaan atau situasi dan pristiwa yang dirasa mengancam atau membahayakan, menghasilkan perasaan tegang yang disebut STRESOR.
  • Respon: Reaksi seseorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan yaitu komponen psikologi dan komponen fisiologi.
  • Proses: Terdiri dari stressor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting yaitu berhubungan antara manusia dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, disebut juga dengan istilah transaksi antara manusia dengan lingkungan, yang di dalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang lain merasakannya.


B. Model stress

Cox (dalam Crider dkk, 1983) mengemukakan 3 model stress, yaitu: Response-based model, Stimulus-based model, dan

Interactional model.

a. Respon-based model

Mengacu sebagai sekelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit dan mencoba untuk mengidentifikasikan pola-pola kejiwaan dan respon-respon kejiwaan yang diukur pada lingkungan yang sulit. Suatu pola atau sekelompok dari respon disebut sebagai sebuah sindrom. Pusat perhatian dari model ini adalah bagaimana stressor yang berasal dari pristiwa lingkungan yang berbda-beda dapat menghasilkan respon stress yang sama.

b. Stimulus-based model

Model stress ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimuli stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli stress adalah sebagai berikut:

Overload: karakteristik ini diukur ketika sebuah stimulus dating secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi

Conflict: diukur ketika sebuah stimulus secara simultan membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian. Situasi-situasi konflik berdifat ambigu, dalam arti stimulus tidak memperhitungkan kecenderungan respon yang wajar.

Uncontroliability: adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas/tidak tergantung pada prilaku dimana pada situasi ini menunjukkan tingkat stress yang tinggi. Stress diproduksi oleh stimulus aversive yang mungkin diolah melebihi kemampuan dan control waktu serta jangka waktu dari stimuli ini daripada dengan kenyataan penderitaan yang dialami. Dampak stress dari stimuli aversive dapat diperkecil jika individu percaya dapat mengontrolnya.

c. Interactional model

Merupakan perpaduan dari respon-based model dan stimulus-based model. Model ini memperkirakan bahwa stress dapat diukur ketika dua kondisi bertemu, yaitu:

Ketika individu menerima ancaman akan motif dan kebutuhan penting yang dimilikinya. Jika telah berpengalaman stress sebelumnya, individu harus menerima bahwa lingkunagan mempunyai ancaman pada motif-motif atau kebutuhan-kebutuhan penting pribadi.

Ketika individu tidak mampu mengcoping stressor. Pengertian coping lebih merujuk pada kesimpulan total dari metode personal, dapat digunakan untuk menguasai situasi yang penuh stress. Coping termasuk rangkaian dari kemampuan untuk bertindak pada lingkungan dan mengelola gangguan emosional, kognitif serta reaksi psikis.


C. Jenis stress

Holan (1981) menyebutkan jenis stress yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: systemic sress dan psychological stress. Systemic stress didefinisikan oleh Selye (dalm Holahan, 1981) sebagai respo non spesifik sari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang mengahasilkan stress, misalanya racun kimia atau temperature ekstrim, aebagai stressor. Selye mengidentifikasi tiga tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stress, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS).

  • Tahap pertama, alarm reaction dari system saraf otonom termasuk didalamnya peningkatan sekresi adrenalin, detak jangtung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini bias diartikan sebagai pertahanan tubuh.
  • Selanjutnya, tahap ini diikuti oleh tahap resistance atau ada[tasi, yang di dalamnya termasuk berbagai macam respon coping secara fisik.
  • Tahap ketiga, exhaustion atau kelelahan akan terjadi kemudian apabila stressor dating secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat.

Psycohological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stress sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Kolahan, 1981). Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan dan seterusnya (dalam Heimstra & McFarling, 1978).

D. Sumber stress (stressor)

Lazarus dan Cohen (dalam Evans, 1982) mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok sumber stress, yaitu:

  1. Fenomena catalismic, yaitu hal-hal atau kejadian-kejadian yang tiba-tiba, khas, dan kejadian yang menyangkut banyak orang seperti bencana alam, perang, banjir, dan sebagainya.
  2. Kejadian-kejadian yang memerlukan penyesuaian atau coping seperti pada fenomena catalismic meskipun berhubungan dengan orang yang lebih sedikit seperti respon seseorang terhadap penyakit atau kematian.
  3. Daily has-sles, yaitu masalah yang serin dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut ketidakpuasan kerja atau masalah-masalah lingkungan.


2. Apakah kaitan stress dengan psikologi lingkungan, jelaskan?Jawab:

Elemen-elemen lingkungan dapat mempengaruhi proses terjadinya ketidakseimbangan maupun keseimbangan dalam kaitan manusia dengan lingkungannya. Ketika tidak mengalami stres, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. dalam keadaan seperti ini, ada waktu-waktu tertentu dimana kita sebenarnya justru mengalami stres, dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individu dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior dengan kata lain kaitan stress dengan lingkungan yaitu stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang mengancam yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya.

Minggu, 24 April 2011

Teritorialitas, ruang personal dan privasi terhadap lingkungan

kelas:3pa05
NPM:10508080
Mata kuliah:p.lingkungan
tugas:Teritorialitas, ruang personal dan privasi terhadap lingkungan




Teritorialitas, ruang personal dan privasi terhadap lingkungan
Privasi adalah salah satu dari gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya, di mana konsep ini amat dekat dengan ruang

konsep dan teritorialitas seperti yang dibahas di muka. Materi-materi yang akan dibahas antara lain meliputi :
Pengertian Privasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi privasi
Faktor personal
Faktor situasional
Pengaruh privasi terhadap perilaku

PENGERTIAN PRIVASI
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu.

Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi

dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986).
Beberapa definisi tentang privasi mempunyai kesamaan yang menekan pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam

mengontrol interaksi panca inderanya dengan pihak lain.
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang di kehendaki oleh seseorang pada suatu kondisi atau

situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginkan

untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar dengan berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain,

dengan cara mendekati atau menjauhinya, Lang (1987) berpendapat bahwa tingkat dari privasi tergantung dari pola-pola

perilaku dalam kepribadian dan aspirasi dari keterlibatan individu.
Rapoport (dalam Soesilo, 1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan

untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginka. Privasi jangan dipandang

hanya sebagai pearikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. Hal ini agak berbeda

dengan yang dikatakan oleh Marshall (dalam Wrightman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli (seperti Bates, 1964; Kira,1996 dalam

Altman, 1975) yang mengatakan bahwa privasi menunjukkan adanya pilihan untuk menghindarkan diri dari keterlibatan dengan

orang lain dan lingkungan sosialnya.
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat

dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan

terpisah dari orang lain (privasi tinggi). Utuk mencapai hal iu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme

prilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut :
Perilaku Verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh mana orang lain boleh berhubungan

dengannya. Misalnya “Maaf, saya tidak punya waktu”.
Perilaku non verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukkan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang.

Misalnya seseorang akan menjauh dan membentuk jarak dengan orang lain, membuang muka ataupun terus-menerus meliht waktu yang

menandakan bahwa ia tidak ingin berinteraksi dengan orang lain.

Mekanisme cultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma yang menggambarkan keterbukaan atau ketertutupan kepada

orang lain dan hal ini sudah diketahui pleh banyak orang pada budaya tertentu (Altman, 1975; Altman & Chemers dalam Dibyo

Hartono, 1986).

Ruang personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertenu. Sommer (dalam Altman, 1975)

mendefinisikan beberapa karakteristik ruang personal. Pertama, daerah batas diri yang diperbolehkkan dimasuki oleh orang

lain. Ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Kedua, ruang

personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terletak pada suatu tempat tetapi batas itu melekat

pada diri dan dibawa kemana-mana. Fisher dkk.(1984), mengatakan bahwa ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi

individu. Ketiga, sama dengan privasi ruang personal adalah batas kawasan dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan

waktu dan situasi. Hal ini tergantung dengan siapa seseorang itu berhubungan. Keempat, pelangaran ruang personal oleh orang

lain akan di rasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini di control dengan kuat.

Teritorialitas
Pembentukan kawasan teritorialitas adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang

personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada

teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relative tetap.
Berdasarkan pembahasan diatas, maka kita dapat mengatakan bahwa konsep privasi ternyata sangat dekat dengan konsep

ruang personal dan terirorialitas. Altman (1975) membuat suatu model organisasi konseptual. Altman mempertimbangkan ruang

persona,territorial dan kesesakan untuk mencapai privasi.


Gambar. Model privasi yang dapat dicapai dengan mempertimbangkan
Ruang personal dan Teritorialitas
Sumber: Alman (1975)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRIVASI

Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor situasional, dan faktor budaya.
Faktor Personal, Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dlalam latar belakang pribadi akan

berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah

sesak akan lebih memilih keadaan yang anonym atau reserve saat ia dewasa, sedangkan orang menghabiskan sebagian besar

waktunya dikota akan lebih memilih keadaan anonym dan intimacy.
Sementara itu Walden dan kawan-kawan (dalam Gifford, 1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam privasi.

Dalam sebuah penelitian pada para penghuni asrama ditmukan bahwa antara pria dan wanita terdapat perbedaan dalam merespon

perbedaan keadaan antara ruangan yang berisi dua orang dengan ruangan yang berisi tiga orang. Dalam hubungannya dengan

privasi, subjek pria lebih memilih ruangan yang berisi dua orang, sedangkan subjek wanita tidak mempermasalahkan keadaan

dalam ruangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa wanita merespon lebih baik daripada pria bila dihadapkan pada situasi

dengan kepadatan yang lebih tinggi.
Faktor Situasional, Beberapa hasil penelitian dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap

kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk

menyendiri (Gifford, 1987).
Faktor Budaya, Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick

pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa pada tiap-tiap

budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana

mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987).
Studi Patterson dan Chiswick (dalam Gifford, 1987) di bawah ini menggambarkan privasi masyarakat Iban, Serawak,

Kalimantan. Orang-orang Iban tinggal di rumah panjang dengan privasi yang (diduga) kurang, dimana kesempatan untuk

menyendiri atau keintiman ada di belakang pintu-pintu yang tertutup. Apakah orang-orang Iban memiliki privasi yang amat

memperihatinkan? Atau apakah mereka tidak membutuhkan privasi? Patterson dan Chisewick menemukan orang Iban tampaknya

membutuhkan privasi kira-kira sebanyak yang kita butuhkan, akan tetapi mereka melakukannya dengan mekanisme yang berbeda.

Mekanisme-mekanisme ini adaklah suatu kesepakatan social.

PENGARUH PRIVASI TERHADAP PERILAKU
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara

seseorang atau kelompok dengan lingkungan social. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang di inginkannya maka

ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
Maxime Wolfe dan kawan-kawan (dalam) Holahan, 1982) mencatat bahwa pengolahan hubungan interpersonal adalah pusat dari

pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan

yang tidak mengeakka.
Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan

individu untuk membagi kepercayaa dengan orang lain. Keterbukaa membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas

dengan orang lain dalam banyak situasi.
Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri ke dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu

membuat hidup ini lebih mengenakkan saat harus berurusan dengan orang-orang yang “sulit”. Sementara hal yang senada

diungkapkan oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan

emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari.
Dari beberapa pedapat di atas, dapat di ambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi,

pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi social yang kompleks di dalam kelompok social; kedua, privasi

membantu kita memantapkan perasaan identitas pribadi.

TERITORIALITAS
Pengertian Teritorialitas

Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan

atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain.

Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau

merupakan suatu teritorial primer.

Elemen-elemen Teritorialitas

Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu:
kepemilikan atau hak dari suatu tempat.
personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
hak untuk mempertahankan diri dari dari gangguan luar, dan
pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis

Teritorialitas dan Perbedaan Budaya

Suatu studi menarik dilakukan oleh Smith (dalam Gifford, 1987) yang melakukan studi tentang penggunaan pantai orang-orang

Perancis dan Jerman. Studi ini yang memiliki pola yang sama dengan studi yang lebih awal di Amerika, sebagaimana yang

dilakukan oleh Edney dan Jordan-Edney (dalam Gifford,1987). Hasil dari ke dua penelitiam ini menunjukan bahwa penggunaan

pantai antara orang Perancis, Jerman dan Amerika membuktikan sesuatu hal yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga

budaya ini memiliki persamaan dalam hal respek. Sebagai contoh, pada ketiga kelompok menuntut ruang yang lebih kecil setiap

orang. Kelompok yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, dimana wanita menuntut ruang yang

lebih kecil dibandingkan dengan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang

mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang jerman membuat lebih banyak tanda. Mereka sering sekali menegakan

penghalang benteng pasir, suatu tanda untuk menyatakan bahwa area pantai disediakan untuk antara dua hari tertententu dan

merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu. Akhirnya, ukuran teritorialitas ternyata berbeda diantara ketiga

budaya tersebut, wlaupun dengan bentuk yang dapat dikatakan sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritorialitas yang

lebih besar, tetapi pada ketiga budaya maupun dalam pembagian kelompok-kelompoknya menandai teritorialitas dengan suatu

lingkaran yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritori yang lebih besar sekali, tetapi dari ketiga budaya tersebut

secara individu menandai territorial dalam bentuk elips dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.

Hubungannya dengan Lingkungan

Dalam hal ini peraturan-peraturan teritorial dapat memfasilitasi berbagai lokasi pada lingkungan sekitar, walaupun terkadang

Seringkali desain ruang publik tidak memperhatikan kebutuhan penghuninya untuk memanfaatkan teritori yang dimilikinya. Bisa

kita lihat dalam ruang kuliah, kursi bus, taman bermain anak dan lain-lain. Terlihat dalam hal ini begitu berhubunganya

teritorial dengan lingkungan kita.


Ruang Personal

Ruang personal adalah ruang di sekeliling individu, yang selalu di bawa kemana saja orang pergi, dan orang akan merasa

terganggu jika ruang tersebut diinterferensi (Gifford, 1987). Artinya, kebutuhan terhadap ruang personal terjadi ketika

orang lain hadir. Ketidakhadiran orang lain, kebutuhan tersebut tidak muncul. Ruang personal biasanya berbentuk buble dan

bukan semata-mata ruang personal tetapi lebih merupakan rauang interpersonal. Ruang personal ini lebih merupakan proses

belajar atau sosialisasi dari orang tua. Seringkali orang tua mengingatkan anaknya untuk tidak mendekati orang asing dan

lebih dekat ke orang tua terutama ibu atau anak diminta memberikan ciuman kepada saudaranya. Anak mempelajari aturan-aturan

bagaimana harus mengambil jarak dengan orang yang sudah dikenal dan orang yang belum dikenalnya. Oleh karenanya, pengambilan

jarak yang tepat ketika berinteraksi dengan orang lain merupakan suatu cara untuk memenuhi kebutuhan ruang personal diri dan

orang lain.

Hubungannya dengan Lingkungan
Ada beberapa unsur yang mempengaruhi jarak Ruang Personal seseorang, yaitu:
1. Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri

sendiri,
2. Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada kaitannya dengan kemandirian. Pada saat bayi,

hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi. Pada usia 18 bulan, bayi

sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi. Ketika berumur 12 tahun, seorang anak

sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3. Kepribadian
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil. Demikian halnya

dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih

mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4. Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang RP ini. Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia

memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi

sangat dekat
5. Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan. Beberapa anak autis

memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan

terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6. Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang

lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada

jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding

sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7. Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari

stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau

orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor

ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
8. Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita

cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika

makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling

bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9. Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10. Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik. Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika

posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil. Orang juga cenderung memilih duduk di bagian

sudut daripada di tengah ruangan.
11. Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis.

Dengan demikian dapat dilihat dari beberapa unsur diatas bahwa ruang personal dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yang ada

kaitannya dengan keadaan lingkungan, dimana individu dapat menentukan aturan ruang personalnya dengan orang lain yang

dikehendaki atau dengan lingkungan sekitarnya.

Senin, 21 Maret 2011

Kepadatan dan kesesakan

KEPADATAN DAN KESESAKAN

Pp A. PENGERTIAN KEPADATAN

Menurut Sundstom kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan. Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruangan atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik. Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan luas ruangannya.

Kepadatan juga dapat mempengaruhi perilaku manusia maupun pada kesehatan manusia itu sendiri, dimana sebagai contoh apabila kita berada didalam sebuah ruangna yang dipadati oleh sejumlah orang dengan kapasitas ruangan yang kecil maka kita pasti akan mengalami kesesakan atau rasa yang kurang nyaman, kita pasti ingin segera cepat-cepat keluar dari ruangan tersebut, selain tidak adanya kenyamanan suasana seperti ini dapat menimbulkan kecemasan serta peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sehingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

Penelitian tentang kepadatan pada manusia mulanya berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Hasil penelitian Calhoun menunjukan hal-hal sebagai berikut :

1.Dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang dan melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti kehidupan alamiah.

2. Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata member dampak negative terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal.Penelitian terhadap manusia pernah dilakukan oleh Bell. Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal negative akibat dari kepadatan.

1. Ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

2. Peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.

3. Terjadi penurunan ketekunan dan pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja yang kompleks.

Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negative kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria. Atau bisa dikatakan pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila di bandingkan dengan wanita.

B. B. Kategori Kepadatan

Kepadatan itu sendiri memiliki beberapa indaktor diantaranya jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu dalam daerah sensus, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan disekitarnya, dan lain-lain. Hal ini bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari kontribusi indicator-inkator yang disebutkan diatas.

Teori Kepadatan dapat dibedakan dalam beberapa kategori, menurut Holahan menggolongkan kepadatan menjadi dua kategori yaitu :

1. Kepadatan spasial (spatial density) Yaitu yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau lebih sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang.

2. Kepadatan sosial (social density) Yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga terjadinya peningkatan kepadatan.

Dan menurut Altman juga kepadatan dapat digolongkan kedalam dua kategori, yaitu :

1. Kepadatan dalam (Inside density) Yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruangan atau tempat tinggal seperti kepadtaan di dalam rumah, kamar, dan ruangan-ruangan lainnnya.

2. Kepadatan luar (outside density) Yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

C. C. Akibat Tingginya Kepadatan

Menurut Taylor, Lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu di suatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikid pada individu yang menempatinya.

Schorr mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, setres dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana.

Menurut Heimstra dan Mc Farling, kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis.

Akibat secara fisik, yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain.

Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja.

Akibat secara psikis antara lain :

a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif,rasa cemas, stress dan perubahan suasana hati.

b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kuran mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

c. Perilaku menolong ( perilaku prososial), tingkat kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untu menolong atau member bantuan pada orang lain yang memutuhkan, terutama pada orang yang tidak dikenal.

d. Kemampuan mengerjakan tugas, siyuasi padat dapat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu.

e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi.

D. D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya

Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991) faktor-faktor sepeti ras, kebiasaan adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur sosial, dan lain-lainnya akan sangat menentukan apakan kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak. Estein (dalam Sears, 1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan kterjadi apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu.

Seperti kita lihat perbedaan kepadatan dikota dengan kepadatan di desa, kepdatan penduduk dikota sudah sangat tidak membuat nyaman selain karena banyaknya penduduk namun di kota sendiri sudah banyak lahan-lahan yang digunakan sebagai gedung-gedung perkantoran, mall, dan padatnya pemukiman-pemukiman disekitarnya sehingga terkadang sudahjarang kita temukan taman-taman di ibukota ini.

Dibandingkan dengan suasana kota, suasana kepadatan di desa mungkin tidak terlalu dirasakan karena di desa masih belum dipadati oleh gedung-gedung bertingkat,perkantoran bahkan polusi sekalipun. Walaupun didesa juga padat oleh penduduk tetapi di desa masih banyak lahan-lahan luas yang member ruang gerak pada penduduknya sehingga jarang kita temukan tingkat kepadatan yang cukup tinggi.

A. Pengertian Kesesakan

Kesesakan adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, bersifat psikis terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik.

Kepadatan memiliki perbedaan dengan kesesakan, walaupun masih belum jelas benar dimana letak perbedaannya. Bahkan banyak dari masyarakat awam yang mendefinisakan antara kepadatan sama dengan kesesakan. Walaupun mungkin kesesakan memiliki level yang lebih tinggi dibanding dengan kepadatan.

Menurut Altman (1975) kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Kepadatan yang tinggi dapat menimbulkan lesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).

Namun Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa suatu keadaan dimana kepadatan bisa dikatakan sebagai kesesakan bila memiliki empat factor:

1. Karakteristik seting fisik

2. Karakteristik seting social

3. Karakteristik personal

4. Kemampuan beradaptasi

Adapun pendapat lain yang dating dari Kapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengungkapkan bahwa kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang tidak dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia. Namun kembali lagi, bahwa kesesakan adalah suatu persepsi. Sehingga kesesakan memiliki makna yang berbeda ditiap individu.

B. Teori- Teori Kesesakan

Teori-Teori kesesakan secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian: Kendala perilaku, teori ekologi, dan beban stimulus.

1. Teori Beban Stimulus

Teori ini muncul karena pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk saat stimulus yang masuk kedalam diri individu melebihi kapasitas nya, sehingga timbul suatu kegagalan pemrosesan stimulus atau informasi dari lingkungannya. Berlebihnya informasi yang masuk dapat terjadi karena beberapa aspek, yaitu:

  • Kondisi fisik yang tidak menyenangkan
  • Jarak fisik antar individu terlalu dekat
  • Suatu percakapan yang tidak diinginkan
  • Terlalu banyak teman dalam berinteraksi
  • Interaksi yang ada terlalu lama.

Namun layaknya proses kognitif, individu juga melakukan suatu penyaringan terhadap semua informasi yang masuk, sehingga informasi yang masuk ke diri individu hanya lah yang menurut individu tersebut penting atau essensial, sedangkan yang lainnya akan menghilang.

2. Teori Ekologi

Menurut Wicker (1976) mengemukakan teorinya tentang meaning. Menurutnya kesesakan muncul karena factor lingkungan dimana hal tersebut itu terjadi.

Analisa terhadap seting meliputi

1. Maintanence Minimum, Yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung.

2. Capacity, jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh suatu lingkungan

3. Aplicant, jumlah penghuni yang mengambil bagian-bagian dalam suatu lingkungan

Ketiga analisa tersebut memiliki suatu hubunga yang saling berkesinambungan, seperti saat applicant lebih sedikit dari pada maintanence minimum, berarti jumlah warga yang dibutuhkan untuk terjadinya suatu aktifitas tidak mencukupi

3. Teori Kendala Perilaku

Teori ini berpendapat bahwa suatu keadaan dapat dikatakan sesak apabila suatu kondisi yang membatasi aktifitas individu tersebut dalam suatu seting. Menurut teori ini, bila timbul gangguan terhadap kebebasan berperilaku, maka akan menimbulkan semacam penolakan psikologis dari dalam diri individu tersebut. Kesesakan timbul karena adanya usaha-usaha yang terlalu banyak, yang membutuhkan energy fisik maupun psikis untuk mengatur tingkat enteraksi yang diinginkan. Energi fisik dipakai untuk menjaga ruang personal yang dimiliki, selain itu juga untuk mempertahankan teritori dari gangguan orang lain. Energy fisiologis timbul ketika individu berusaha mengatur interaksi dengan orang lain.

C. Faktor Pengaruh Kesesakan

1. Faktor Personal

Terdiri dari Kontrol pribadi atau locus of control, yang hal ini berkaitan dengan tingginya kepadatan yang dapat memberikan kontribusi terhadap munculnya kesesakan. Sedangakn budaya memiliki kaitan tentang persepsi masyarakat tentang kesesakan itu sendiri. Dan yang terakhir dalam factor personal adalah jenis kelamin, ditemukan penelitian bahwa pria memiliki pengalaman kesesakan lebih disbanding wanita karena lebih menunjukan sikap reaktif terhadap kondisi tersebut.

2. Faktor Sosial

Faktor-faktor ini berkaitan dengan kehadiran dan perilaku orang lain, formasi koalisi, kualitas hubungan yang berkaitan dengan bagaimana orang lain memiliki suatu cara berpikir yang sama sehingga kesesakan dapat berkurang, dan informasi yang tersedia, dalam artian kesiapan individu tersebut terhadap kesesakan yang akan terjadi. Jika individu tersebut memiliki informasi sebelumnya tentang kepadatan yang terjadi maka ia akan merasa lebihsiap disbanding dengan individu yang tidak memiliki info sama sekali.

D. Pengaruh Kesesakan terhadap Perilaku

  • Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973)
  • Aktifitas seseorang akan terganggu oleh aktifitas orang lain.
  • Disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)
  • Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982)

Minggu, 20 Februari 2011

ARTIKEL

GAYA HIDUP CLUBING REMAJA


Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya. gaya hidup adalah perpaduan antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak berdasarkan pada norma yang berlaku. Oleh karena itu banyak diketahui macam gaya hidup yang berkembang di masyarakat sekarang misalnya gaya hidup hedonis, gaya hidup metropolis, gaya hidup global dan lain sebagainya.


Bentuk-bentuk Gaya Hidup
Menurut Chaney (dalam Idi Subandy,1997) Beberapa bentuk gaya hidup, antara lain :
a. Industri Gaya Hidup
Dalam abad gaya hidup, penampilan-diri itu justru mengalami estetisisasi, "estetisisasi kehidupan sehari-hari" dan bahkan tubuh/diri (body/self) pun justru mengalami estetisisasi tubuh. Tubuh/diri dan kehidupan sehari-hari pun menjadi sebuah proyek, benih penyemaian gaya hidup. "Kamu bergaya maka kamu ada!" adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan kegandrungan manusia modern akan gaya. Itulah sebabnya industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah industri penampilan.
b. Iklan Gaya Hidup
Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan (korporasi), para politisi, individu-individu semuanya terobsesi dengan citra. Di dalam era globalisasi informasi seperti sekarang ini, yang berperan besar dalam membentuk budaya citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) adalah gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang kadang-kadang mempesona dan memabukkan. Iklan merepresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus (subtle) arti pentingnya citra diri untuk tampil di muka publik. Iklan juga perlahan tapi pasti mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat.
c. Public Relations dan Journalisme Gaya Hidup
Pemikiran mutakhir dalam dunia promosi sampai pada kesimpulan bahwa dalam budaya berbasis-selebriti (celebrity based-culture), para selebriti membantu dalam pembentukan identitas dari para konsumen kontemporer. Dalam budaya konsumen, identitas menjadi suatu sandaran "aksesori fashion". Wajah generasi baru yang dikenal sebagai anak-anak E-Generation, menjadi seperti sekarang ini dianggap terbentuk melalui identitas yang diilhami selebriti (celebrity-inspired identity)-cara mereka berselancar di dunia maya (Internet), cara mereka gonta-ganti busana untuk jalan-jalan. Ini berarti bahwa selebriti dan citra mereka digunakan momen demi momen untuk membantu konsumen dalam parade identitas.
d. Gaya Hidup Mandiri
Kemandirian adalah mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan. Nalar adalah alat untuk menyusun strategi. Bertanggung jawab maksudnya melakukan perubahan secara sadar dan memahami betuk setiap resiko yang akan terjadi serta siap menanggung resiko dan dengan kedisiplinan akan terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggung jawab, serta menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut.
e. Gaya Hidup Hedonis
Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak bermain, senang pada keramaian kota, senang membeli barang mahal yang disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dari suatu gaya hidup dapat berupa gaya hidup dari suatu penampilan, melalui media iklan, modeling dari artis yang di idola kan, gaya hidup yang hanya mengejar kenikmatan semata sampai dengan gaya hidup mandiri yang menuntut penalaran dan tanggung jawab dalam pola perilakunya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Hidup
gaya hidup seseorang dapat dilihat dari perilaku yang dilakukan oleh individu seperti kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan atau mempergunakan barang-barang dan jasa, termasuk didalamnya proses pengambilan keputusan pada penentuan kegiatan-kegiatan tersebut.

Faktor internal yaitu sikap, pengalaman, dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif, dan persepsi. penjelasannya sebagai berikut :
a.Sikap. Sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan pikir yang dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek yang diorganisasi melalui pengalaman dan mempengaruhi secara langsung pada perilaku. Keadaan jiwa tersebut sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, kebudayaan dan lingkungan sosialnya.
b.Pengalaman dan pengamatan. Pengalaman dapat mempengaruhi pengamatan sosial dalam tingkah laku, pengalaman dapat diperoleh dari semua tindakannya dimasa lalu dan dapat dipelajari, melalui belajar orang akan dapat memperoleh pengalaman. Hasil dari pengalaman sosial akan dapat membentuk pandangan terhadap suatu objek.
c.Kepribadian. Kepribadian adalah konfigurasi karakteristik individu dan cara berperilaku yang menentukan perbedaan perilaku dari setiap individu.
d konsep diri. Faktor lain yang menentukan kepribadian individu adalah konsep diri. Konsep diri sudah menjadi pendekatan yang dikenal amat luas untuk menggambarkan hubungan antara konsep diri konsumen dengan image merek. Bagaimana individu memandang dirinya akan mempengaruhi minat terhadap suatu objek. Konsep diri sebagai inti dari pola kepribadian akan menentukan perilaku individu dalam menghadapi permasalahan hidupnya, karena konsep diri merupakan frame of reference yang menjadi awal perilaku.
e. Motif. Perilaku individu muncul karena adanya motif kebutuhan untuk merasa aman dan kebutuhan terhadap prestise merupakan beberapa contoh tentang motif. Jika motif seseorang terhadap kebutuhan akan prestise itu besar maka akan membentuk gaya hidup yang cenderung mengarah kepada gaya hidup hedonis.

Adapun faktor eksternal sebagai berikut :
a. Kelompok referensi. Kelompok referensi adalah kelompok yang memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang. Kelompok yang memberikan pengaruh langsung adalah kelompok dimana individu tersebut menjadi anggotanya dan saling berinteraksi, sedangkan kelompok yang memberi pengaruh tidak langsung adalah kelompok dimana individu tidak menjadi anggota didalam kelompok tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut akan menghadapkan individu pada perilaku dan gaya hidup tertentu.
b. Keluarga. Keluarga memegang peranan terbesar dan terlama dalam pembentukan sikap dan perilaku individu.Hal ini karena pola asuh orang tua akan membentuk kebiasaan anak yang secara tidak langsung mempengaruhi pola hidupnya.
c. Kelas sosial. Kelas sosial adalah sebuah kelompok yang relatif homogen dan bertahan lama dalam sebuah masyarakat, yang tersusun dalam sebuah urutan jenjang, dan para anggota dalam setiap jenjang itu memiliki nilai, minat, dan tingkah laku yang sama. Ada dua unsur pokok dalam sistem sosial pembagian kelas dalam masyarakat, yaitu kedudukan (status) dan peranan. Kedudukan sosial artinya tempat seseorang dalam lingkungan pergaulan, prestise hak-haknya serta kewajibannya. Kedudukan sosial ini dapat dicapai oleh seseorang dengan usaha yang sengaja maupun diperoleh karena kelahiran. Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan. Apabila individu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peranan.
d. Kebudayaan. Kebudayaan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh individu sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, meliputi ciri-ciri pola pikir, merasakan dan bertindak.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup berasal dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal). Faktor internal meliputi sikap, pengalaman dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif , dan persepsi. Adapun faktor eksternal meliputi kelompok referensi, keluarga, kelas sosial, dan kebudayaan.

Clubbing
1. Pengertian Clubbing
Clubbing merupakan istilah prokem khas anak muda yang berarti suatu dunia malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sasaat (Perdana, 2004). Melalui clubbing khususnya anak muda merasa menemukan jati diri, disana mereka bisa “berjingkrak-jingkrak” sebebasnya, meneguk alkohol dan narkoba, cekikikan sampai pagi, lalu pulang dalam keadaan teler dan capai. Melalui clubbing mereka bisa menemukan komunitas bergaulnya. Singkatnya clubbing adalah just having fun, sekedar hura-hura dan membutuhkan banyak uang.

Clubbing sudah sangat identik dengan kehidupan masyarakat metropolitan. Tidak hanya menjadi bagian dari gaya hidup, tapi juga menjadi sarana bersosialisasi, bahkan melakukan lobi bisnis. Dulu clubbing selalu diasosiasikan dengan musik menghentak yang dapat membuat orang larut dalam suasana. Seiring perkembangan zaman, clubbing mengalami banyak pergeseran karena tidak semua orang suka musik semacam itu. Pada hakikatnya suasana yang hingar bingar bukan lagi daya tarik utama. Banyak tempat hiburan di Jakarta meninggalkan konsep diskotek dan beralih pada konsep Resto and lounge yang ternyata lebih menarik konsumen usia 25-35 tahun. Kehadiran Resto and lounge yang bertebaran di Jakarta tidak berarti gulung tikarnya beberapa tempat yang benar-benar dirancang bagi yang hobi melantai diiringi musik seorang DJ atau Disc Jockey (www.bintang.com)

Jumlah tempat hiburan malam terus bertambah. Kejenuhan pasar membuat tawaran konsep harus berbeda dengan yang telah beroperasi. HL adalah salah satu tempat clubbing favorit clubbers di Jakarta, pada malam-malam clubbers khususnya ketika discotime dimulai pada jam 11 malam tenpat ini selalu ramai. Para pebisnis entertaiment ini sangat pintar untuk menarik perhatian para clubbers dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang beragam yang menjadi trend setter bagi kalangan night society, misalnya dengan membebaskan para wanita biaya cover charge dan membiarkan mereka clubbing sepenuhnya agar kaum wanita yang datang membludak dan kaum pria akan terpancing untuk datang ketempat tersebut. Selain itu dengan memberikan free flow vodka and champagne for ladies all night (memberikan minum vodka dan champgne untuk wanita sepanjang malam), bahkan yang lebih berani adalah menjual program yang berbau sexy, seksual yang menjadi fokus utama (www.popular.maj.com).
Adat dan tradisi masa lalu benar-benar tergeser dengan adanya perkembangan dunia yang semakin pesat. Dengan kecanggihan pengetahuan dan teknologi industrialisme. Bangsa barat berhasil merangsak bangsa-bangsa timur (terutama yang berbaris Islam) dengan produk-produknya yang ditumpangi oleh warna-warna budaya barat yang sangat kontras dengan moralitas dan religiusitas bangsa timur. Misalnya dengan adanya trend fashion yang pamer aurat, dentum musik yang merangsang kelalaian hati terhadap Allah, ajang pergaulan bebas yang memanjakan syahwat setan hingga sarana-sarana teknologis yang membutuhkan solidaritas sosial. Semua produk yang dipromosikan secara massal tersebut sebenarnya merupakan bentuk baru penjajahan neo-kolonisme. Ironisnya, kebanyakan dari kita terutama kaum clubbing sama sekali tidak menyadari ancaman-ancaman moralitas dan martabat dari invasi tersebut, justru memantapkan diri sebagai bagian penyembah dan budak dari penjajahan kapitalisme tersebut yang sesuai dengan ideologi mereka just having fun.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa clubbing merupakan suatu kegiatan untuk datang dan menikmati suasana, suguhan hiburan, makanan dan minuman di tempat-tempat hiburan malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sesaat.

2. Pelaku Clubbing
Mayoritas para clubbers adalah para generasi muda yang memiliki status sosio-ekonomi yang cukup baik. Ini terlihat dari kebutuhan-kebutuhan material yang menopang aktivitas clubbing yang jelas membutuhkan dana ekstra. Mulai dari pemilihan pakaian yang bermerek, properti, kendaraan, hingga perangkat clubbing itu sendiri. para pelaku clubbing itu tidak hanya para generasi muda yang notabennya sebagai pelajar dan mahasiswa, tetapi para eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses, bahkan ibu rumah tangga ada juga yang menjadi para pelaku clubbing.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa para pelaku clubbing itu mayoritas berasal dari para generasi muda, para eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses dan ibu rumah tangga pun juga ada yang melakukan clubbing.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Clubbing
Kaum clubbers secara logis dalam konteks ini adalah kaum plagiator yang mengimpor secara mentah-mentah gaya hidup dunia barat kedalam kehidupan sosial mereka. Di kalangan para clubbers, ada tiga narasi yang selalu melandasi cara pandang dan perilakunya, yakni gaul, funcy, dan happy dimana kesemuanya berlabuh pada satu narasi besar (grand naration) yakni gensi. Tidak jelas siapa yang mulai melontarkan dan mempopulerkan istilah tersebut, disini Perdana (2004) dalam bukunya yang berjudul “Dugem : ekspresi cinta, seks, dan jati diri” menjelaskan wujud ekspresi dari ketiga narasi tersebut. Hal tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi generasi muda melakukan clubbing. Adapun faktor-faktornya adalah :
a. “Gaul”, istilah “gaul” berasal dari kata baku “bergaul” atau “pergaulan” yaitu sebuah sistem sosial yang terbentuk melalui interaksi, komunikasi dan kontak sosial yang melibatkan lebih dari satu orang. Akan tetapi dalam komunitas clubbing, istilah “gaul” bukan lagi menjadi “media sosialisasi” untuk melengkapi fitrah kemanusiaannya, melainkan kebanyakan telah menjadi “ajang pelampiasan hawa nafsu”. Kebanyakan bentuk “gaul” ini justru menjadi pintu gerbang bagi lahirnya generasi-generasi penganut seks bebas, pecandu narkoba, hingga pelacuran dan penjahat sosial.
b. Funcy, istilah funcy secara aksiologis tanpa memperdebatkan wacana epitemologisnya, istilah funcy selalu berlekatan dengan istilah “gaul”. Pemaknaan funcy selalu dipertautkan dengan bentuk-bentuk eksperimentasi yang tanpa landasan argumentasi yang jelas, sekedar mencari sensasi dan pelampiasan emosi-emosi jiwa yang tidak terkendali. Ini bisa dilihat dari hasil eksperimentasi mereka dalam hal kostum, kendaraan, fisik dan gaya hidup.
c. Happy, istilah happy berasal dari bahasa inggris yang berarti bahagia, selalu bahagia. Dengan “bergaul”, berinteraksi dan membaur dalam warna komunitas “bergaul”nya, kaum remaja merasa menemukan jati diri yang tepat dengan selera dan jiwa mudanya daripada apa yang didapatkan dari lingkungan keluarga. Mereka merasa menemukan kebahagiaan sejati disini yaitu bebas berbuat apa saja, banyak teman, termasuk bebas menyalurkan gelora libido seksualnya. Namun kebahagiaan yang mereka dapatkan adalah kebahagiaan semu.

Clubbing merupakan salah satu gaya hidup di zaman sekarang yang merupakan hasil adopsi dari negara-negara barat. Seseorang melakukan clubbing ada kemungkinan besar karena terinspirasi akan kehidupan para selebritis, orang-orang terkenal, orang-orang yang bekerja di bidang intertainmen dalam memperoleh kesenangan. Clubbing dipandang oleh individu sebagai gaya hidup yang modern. Piliang (2006) menyatakan bahwa individu dalam mengikuti gaya hidup modern dipengaruhi oleh faktor intern dan faktor ekstern.

Faktor intern merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu berhubungan dengan minat dan dorongan seseorang untuk melakukan kegiatan yang diinginkan sesuai dengan perasaan hati. Selain itu, faktor intern individu melakukan clubbing dipengaruhi sikap. Sikap lebih cenderung berhubungan dengan kepribadian individu dalam menentukan suatu fenomena yang ditemui dalam kehidupannya (Piliang, 2006).
Dilanjutkan oleh Piliang (2006) bahwa faktor ektern merupakan faktor di luar individu yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Faktor ekstern ini dibedakan atas faktor keluarga dan faktor lingkungan sosial. Faktor lingkungan keluarga yang kurang harmonis berdampak pada anggota keluarga untuk mencari kesenangan di luar rumah dan clubbing merupakan satu pilihan untuk mencari kesenangan tersebut. Adapun faktor lingkungan sosial merupakan faktor sosial individu dalam kegiatannya sehari-hari. Individu yang memiliki sifat tidak tetap pendiriannya akan mudah terpengaruh oleh keadaan lingkungan sosial, di mana individu melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Apabila lingkungan sosial cenderunng dalam kehidupan clubbing, maka ada kemungkinan besar individu tersebut juga masuk dalam lingkungan yang menyenangi gaya hidup clubbing.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi generasi muda untuk melakukan clubbing adalah faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang berasal dari individu berhubungan dengan minat, motivasi, dan sikap (untuk hidup funcy dan happy). Adapun faktor ekstern berasal dari lingkungan keluarga dan lingkungan sosial (berhubungan dengan pergaulan individu).