Senin, 19 April 2010

gangguan belajar (DISGRAFIA)

DISGRAFIA

Kelainan neurologis ini menghambat kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara fisik, seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap ataupun tulisan tangannya buruk. Anak dengan gangguan disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara otomatis saat menulis huruf dan angka.

Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan belajar, terutama pada anak yang berada di tingkat SD. Kesulitan dalam menulis seringkali juga disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru. Akibatnya, anak yang bersangkutan frustrasi karena pada dasarnya ia ingin sekali mengekspresikan dan mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke dalam bentuk tulisan. Hanya saja ia memiliki hambatan.

Sebagai langkah awal dalam menghadapinya, orang tua harus paham bahwa disgrafia bukan disebabkan tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar. Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan proses visual motoriknya.

CIRI-CIRI

Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan ini. Di antaranya adalah:

1. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.

2. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.

3. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.

4. Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.

5. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.

6. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.

7. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.

8. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.

MEMBANTU ANAK DISGRAFIA

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk membantu anak dengan gangguan ini. Di antaranya:

1. Pahami keadaan anak

Sebaiknya pihak orang tua, guru, atau pendamping memahami kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki anak disgrafia. Berusahalah untuk tidak membandingkan anak seperti itu dengan anak-anak lainnya. Sikap itu hanya akan membuat kedua belah pihak, baik orang tua/guru maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika memungkinkan, berikan tugas-tugas menulis yang singkat saja. Atau bisa juga orang tua
meminta kebijakan dari pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak dengan gangguan ini secara lisan, bukan tulisan.

2. Menyajikan tulisan cetak

Berikan kesempatan dan kemungkinan kepada anak disgrafia untuk belajar menuangkan ide dan konsepnya dengan menggunakan komputer atau mesin tik. Ajari dia untuk menggunakan alat-alat agar dapat mengatasi hambatannya. Dengan menggunakan komputer, anak bisa memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia mengetahui kesalahannya.

3. Membangun rasa percaya diri anak

Berikan pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan anak. Jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan karena hal itu akan membuatnya merasa rendah diri dan frustrasi. Kesabaran orang tua dan guru akan membuat anak tenang dan sabar terhadap dirinya dan terhadap usaha yang sedang dilakukannya.

4. Latih anak untuk terus menulis

Libatkan anak secara bertahap, pilih strategi yang sesuai dengan tingkat kesulitannya untuk mengerjakan tugas menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang diminatinya, seperti menulis surat untuk teman, menulis pada selembar kartu pos, menulis pesan untuk orang tua, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk tulisan konkret.

gangguan belajar (DISKALKULIA)

Menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Harmawan Consulting, Jakarta, diskalkulia dikenal juga dengan istilah "math difficulty" karena menyangkut gangguan pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat ditinjau secara kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan akan menunjukkan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini biasanya ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang melibatkan angka ataupun simbol matematis.

CIRI-CIRI

Inilah beberapa hal yang bisa dijadikan pegangan:

1. Tingkat perkembangan bahasa dan kemampuan lainnya normal, malah seringkali mempunyai memori visual yang baik dalam merekam kata-kata tertulis.

2. Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-harinya, ia sulit menghitung transaksi (belanja), termasuk menghitung kembalian uang. Seringkali anak tersebut jadi takut memegang uang, menghindari transaksi, atau apa pun kegiatan yang harus melibatkan uang.

3. Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah, mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan angka atau urutan.

4. Terkadang mengalami disorientasi, seperti disorientasi waktu dan arah. Si anak biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.

5. Mengalami hambatan dalam menggunakan konsep abstrak tentang waktu. Misalnya, ia bingung dalam mengurut kejadian masa lalu atau masa mendatang.

6. Sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-angka, seperti proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret hitung serta deret ukur.

7. Mengalami hambatan dalam mempelajari musik, terutama karena sulit memahami notasi, urutan nada, dan sebagainya.

8. Bisa juga mengalami kesulitan dalam aktivitas olahraga karena bingung mengikuti aturan main yang berhubungan sistem skor.

FAKTOR PENYEBAB

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi gangguan ini, di antaranya:

1. Kelemahan pada proses penglihatan atau visual

Anak yang memiliki kelemahan ini kemungkinan besar akan mengalami diskalkulia. Ia juga berpotensi mengalami gangguan dalam mengeja dan menulis dengan tangan.

2. Bermasalah dalam hal mengurut informasi

Seorang anak yang mengalami kesulitan dalam mengurutkan dan mengorganisasikan informasi secara detail, umumnya juga akan sulit mengingat sebuah fakta, konsep ataupun formula untuk menyelesaikan kalkulasi matematis. Jika problem ini yang menjadi penyebabnya, maka anak cenderung mengalami hambatan pada aspek kemampuan lainnya, seperti membaca kode-kode dan mengeja, serta apa pun yang membutuhkan kemampuan mengingat kembali hal-hal detail.

3. Fobia matematika

Anak yang pernah mengalami trauma dengan pelajaran matematika bisa kehilangan rasa percaya dirinya. Jika hal ini tidak diatasi segera, ia akan mengalami kesulitan dengan semua hal yang mengandung unsur hitungan.

CARA PENANGGULANGAN

Diagnosa diskalkulia harus dilakukan oleh spesialis yang berkompeten di bidangnya berdasarkan serangkaian tes dan observasi yang valid dan terpercaya. Bentuk terapi atau treatment yang akan diberikan pun harus berdasarkan evaluasi terhadap kemampuan dan tingkat hambatan anak secara detail dan menyeluruh.

Bagaimanapun, kesulitan ini besar kemungkinan terkait dengan kesulitan dalam aspek-aspek lainnya, seperti disleksia. Perbedaan derajat hambatan akan membedakan tingkat treatment dan strategi yang diterapkan. Selain penanganan yang dilakukan ahli, orang tua pun disarankan melakukan beberapa latihan yang dapat mengurangi gangguan belajar, yaitu:

1. Cobalah memvisualisasikan konsep matematis yang sulit dimengerti, dengan menggunakan gambar ataupun cara lain untuk menjembatani langkah-langkah

atau urutan dari proses keseluruhannya.

2. Bisa juga dengan menyuarakan konsep matematis yang sulit dimengerti dan minta si anak mendengarkan secara cermat. Biasanya anak diskalkulia tidak mengalami kesulitan dalam memahami konsep secara verbal.

3. Tuangkan konsep matematis ataupun angka-angka secara tertulis di atas kertas agar anak mudah melihatnya dan tidak sekadar abstrak. Atau kalau perlu, tuliskan urutan angka-angka itu untuk membantu anak memahami konsep setiap angka sesuai dengan urutannya.

4. Tuangkan konsep-konsep matematis dalam praktek serta aktivitas sederhana sehari-hari. Misalnya, berapa sepatu yang harus dipakainya jika bepergian, berapa potong pakaian seragam sekolahnya dalam seminggu, berapa jumlah kursi makan yang diperlukan jika disesuaikan dengan anggota keluarga yang ada, dan sebagainya.

5. Sering-seringlah mendorong anak melatih ingatan secara kreatif, entah dengan cara menyanyikan angka-angka, atau cara lain yang mempermudah menampilkan ingatannya tentang angka.

6. Pujilah setiap keberhasilan, kemajuan atau bahkan usaha yang dilakukan oleh anak.

7. Lakukan proses asosiasi antara konsep yang sedang diajarkan dengan kehidupan nyata sehari-hari, sehingga anak mudah memahaminya.

8. Harus ada kerja sama terpadu antara guru dan orang tua untuk menentukan strategi belajar di kelas, memonitor perkembangan dan kesulitan anak, serta melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk memfasilitasi kemajuan anak. Misalnya, guru memberi saran tertentu pada orang tua dalam menentukan tugas di rumah, buku-buku bacaan, serta latihan yang disarankan.

GANGGUAN DEFISIT-ATENSI/HIPERAKTIVITAS

Gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas (GDAH) ditandai oleh rentang perhatian yang buruk yang tidak sesuai dengan perkembangan atau ciri hiperaktivitas dan impulsivitas atau keduanya yang tidak sesuai dengan usia. Untuk memenuhi kriteria diagnostik gangguan harus ada sekurangnya enam bulan, menyebabkan gangguan dalam fungsi akademik atau sosial, dan terjadi sebelum usia 7 tahun.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat adalah bervariasi 2-20%. Di Inggris kurang dari 1%. Anak laki-laki memiliki insidensi yang lebih tinggi dibandingkan anak perempuan, dengan rasio 3:1 sampai 5:1. Orang tua dari anak-anak dengan GDAH menunjukkan peningkatan insidensi hiperkinesis, sosiopati, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan konversi. Walaupun onset biasanya pada usia 3 tahun, diagnosis biasanya tidak dibuat sampai anak dalam sekolah dasar dan situasi belajar yang terstruktur.
Etiologi
Faktor genetik. Bukti-bukti untuk dasar genetik untuk gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas adalah lebih besarnya angka kesesuaian dalam kembar monozigotik. Sanak saudara anak hiperaktif memiliki risiko 2x menderita gangguan.
Cedera otak. Pada periode janin dan perinatalnya. Atau cedera otak mungkin disebabkan oleh efek sirkulasi, toksik, metabolik, mekanik, dan efek lain yang merugikan dan oleh stress dan kerusakan fisik pada otak selama masa bayi yang disebabkan oleh infeksi peradangan, dan trauma.
Faktor neurokimiawi. Obat yang paling banyak diteliti dalam terapi gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas adalah stimulan, mempengaruhi dopamin maupun neurotransmiter yang menyatakan kemungkinan disfungsi pada sistem adrenergik dan dopaminergik.
Faktor neurologis. Otak manusia normalnya menjalani kecepatan pertumbuhan utama pada beberapa usia: 3-10 bulan, 2-4 tahun, 6-8 tahun, 10-12 tahun, 14-16 tahun. Suatu korelasi fisiologis adalah ditemukannya berbagai pola elektroensefalogram (EEG) abnormal yang terdisorganisasi dan karakteristik untuk anak kecil.
Faktor psikososial. Kejadian fisik yang menimbulkan stres, suatu gangguan keseimbangan keluarga, dan faktor yang menyebabkan kecemasan berperan dalam awal atau berlanjutnya GDAH. Faktor predisposisi mungkin termasuk temperamen anak, faktor genetik-familial, tuntutan sosial untuk mematuhi cara berkelakuan dan bertindak yang rutin. Status sosioekonomi tampaknya bukan merupakan faktor predisposisi.
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Defisit-Atensi/Hiperaktivitas
A. Salah satu (1)atau (2):
(1) Inatensi: enam (atau lebih) gejala inatensi berikut ini telah menetap selama sekurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan:
(a) sering gagal memberikan perhatian terhadap perincian atau melakukan kesalahan yang tidak berhati-hati dalam tugas sekolah, pekerjaan, atau aktivitas lain
(b) sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan atensi terhadap tugas atau aktivitas permainan
(c) sering tidak tampak mendengarkan jika berbicara langsung
(d) sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah, pekerjaan, atau kewajiban di tempat kerja (bukan karena perilaku oposisional atau titak dapat mengerti instruksi)
(e) sering mengalami kesulitan daam menyusun tugas dan aktivitas
(f) sering menghindari, membenci, atau enggan untuk terlibat dalam tugas yang memerlukan usaha mental yang lama (seperti tugas sekolah/pekerjaan rumah).
(g) Sering menghindari hal-hal yang perlu untuk tugas dan aktivitas (mislanya, tugas sekolah, pensil, buku, atau peralatan)
(h) Sering mudah dialihkan perhatiannya oleh stimuli luar
(i) Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari
(2) Hiperaktivitas-Impulsivitas: Enam (atau lebih) gejala hiperaktivitas-impulsivitas berikut ini telah menetap selama sekurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan:
Hiperaktivitas
(a) sering gelisah dengan tangan dan kaki atau menggeliat-geliat di tempat duduk
(b) sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau dalam situasi lain dimana diharapkan tetap duduk
(c) sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak tepat (pada remaja atau dewasa, mungkin terbatas pada perasan subjektif kegelisahan)
(d) sering mengalami kesulitan bermain/terlibat aktivitas waktu luang secara tenang
(e) sering “siap-siap pergi” atau bertindak seakan-akan “didorong oleh sebuah motor”
(f) sering bicara berlebihan
Impulsivitas
(g) sering menjawab tanpa pikir terhadap pertanyaan sebelum pertanyaan selesai
(h) sering sulit menunggu gilirannya
(i) sering memutus atau mengganggu orang lain (misalnya, memotong masuk ke percakapan atau permainan)
B. Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau inatentif yang menyebabkan gangguan telah ada sebelum usia 7 tahun.
C. Beberapa gangguan akibat gejala ada selama dua atau lebih situasi (misalnya, di sekolah [atau pekerjaan] dan di rumah).
D. Harus terdapat bukti jelas adanya gangguan yang bermakna secara klinis dalam fungsi sosial, akademik, atau fungsi pekerjaan.
E. Gejala tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan perkembangan pervasif, skizofrenia, atau gangguan psikotik lain, dan tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan disosiatif, atau gangguan kepribadian).
Riwayat di sekolah dan laporan guru adalah penting dalam menilai apakah kesulitan anak dalam belajar dan perilaku sekolah terutama disebabkan oleh masalah perilaku atau maturasionalnya atau karena citra diri mereka yang buruk karena merasa tidak berdaya.
Gambaran Klinis
GDAH mungkin memiliki onset pada masa bayi. Bayi dengan GDAH adalah peka terhadap stimuli dan mudah dimarahkan oleh suara, cahaya, temperatur, dan perubahan lingkungn lain. Kadang-kadang terjadi kebalikannya, anak-anak tenang dan lemah, banyak tidur, dan tampaknya berkembang lambat pada bulan-bulan pertama kehidupan. Tetapi, lebih sering untuk bayi dengan GDAH untuk bersikap aktif di tempat tidurnya, sedikit tidur, dan banyak menangis. Anak GDAH jauh lebih jarang dibandingkan anak normal untuk menurunkan aktivitas lokomotoriknya saat lingkungan mereka terstruktur oleh batas-batas sosial. Di sekolah, anak GDAH dapat dengan cepat menyambar ujian tetapi hanya menjawab satu atau dua pekerjaan pertama. Mereka tidak mampu menunggu giliran dipanggil di sekolah dan menjawab giliran orang lain. Di rumah, mereka tidak dapat didiamkan walaupun hanya semenit.
Anak-anak GDAH seringkali mudah marah secara meledak. Iritabilitas mereka mungkin ditimbulkan oleh stimuli yang relatif kecil, yang mungkin membingungkan dan mencemaskan anak. Mereka seringkali labil secara emosional, mudah dibuat tertawa atau menangis, dan mood dan kinerja mereka cenderung bervariasi dan tidak dapat diramalkan. Impulsivitas dan ketidakmampuan menunda kegembiraan adalah karakteristik. Mereka seringkali rentan terhadap kecelakaan.
Kesulitan emosional penyerta adalah sering ditemukan. Kenyataan bahwa anak-anak lain menumbuhkan perilaku tersebut tetapi anak GDAH tidak menimbulkannya pada waktu dan kecepatan yang sama dapat menyebabkan ketidakpuasan dan tekanan pada orang dewasa. Konsep diri yang negatif dan permusuhan reaktif yang dihasilkannya adalah diperburuk oleh kesadaran anak bahwa ia memiliki masalah.
Karakteristik anak-anak dengan GDAH yang tersering dinyatakan adalah, dalam urutan frekuensi, (1) hiperaktivitas, (2) gangguan motorik perseptual, (3) labilitas emosional, (4) defisit koordinasi menyeluruh,(5) gangguan atensi (rentang atensi yang pendek, distraktibilitas, keras hati, gagal menyelesaikan hal, inatensi, konsentrasi yang buruk), (6) impulsivitas (bertindak sebelum berpikir, mengubah perilaku dengan tiba-tiba, tidak memiliki organisasi, meloncat-loncat di sekolah), (7) gangguan daya ingat dan pikiran, (8) ketidakmampuan belajar spesifik, (9) gangguan bicara dan pendengaran, dan (10) tanda neurologis dan iregularitas EEG yang samar-samar.
Kira-kira 75 persen anak-anak dengan GDAH hampir konsisten menunjukkan gejala perilaku agresi dan menantang.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Perjalanan penyakit GDAH bervariasi. Gejala dapat menetap sampai masa remaja atau kehidupan dewasa, gejala dapat menghilang pada pubertas, atau hiperaktivitas mungkin menghilang, tetapi penurunan rentang atensi dan masalah pengendalian impuls mungkin menetap. Overaktivitas biasanya merupakan gejala pertama yang menghilang dan distraktibilitas adalah yang terakhir. Remisi kemungkinan tidak terjadi sebelum usia 12 tahun. Tetapi, sebagian besar pasien GDAH mengalami remisi parsial dan rentan terhadap gngguan kepribadian lain&gangguan mood.Masalah belajar seringkali terus ada.
Kira-kira 15-20%, gejala GDAH menetap sampai dewasa. Mereka dengan gangguan mungkin menunjukkan penurunan hiperaktivitas tetapi tetap impulsif dan rentan terhadap kecelakaan. Anak-anak dengan GDAH yang gejalanya menetap sampai masa remaja adalah berada dalam risiko tinggi untuk mengalami gangguan konduksi. Kira-kira 50% anak dengan gangguan konduksi akan mengembangkan gangguan kepribadian antisosial di masa dewasanya. Anak-anak dengan kedua GDAH dan gangguan konduksi juga berada dalam risiko mengalami gangguan berhubungan zat.
Terapi
Farmakoterapi. Stimulan sistem saraf pusat, terutama dextroamphetamine (Dexedrine), methylphenidate, dan pemoline (Cylert). Food and Drug Administration (FDA) mengijinkan dextroamphetamine pada anak berusia 3 tahun dan lebih dan mehylphenidate pada anak yang berusia 6 tahun dan lebih; keduanya adalah obat yang paling sering digunakan.
Antidepresan – termasuk imipramine (Tofranil), desipramine, dan nortriptyline (Pamelor) – telah digunakan untuk mengobati GDAH dengan suatu keberhasilan.
Psikoterapi. Medikasi sendiri saja jarang memuaskan kebutuhan terapetik yang menyeluruh pada anak GDAH dan biasanya hanya merupakan satu segi dari regimen multimodalitas. Pada psikoterapi individual, modifikasi perilaku, konseling orangtua, dan terapi tiap gangguan belajar yang menyertai mungkin diperlukan.

GANGGUAN ASPERGER

Etiologi
Penyebab gangguan Asperger tidak diketahui, tetapi penelitian keluarga menyatakan kemungkinan hubungan dengan gangguan autistik. Kemiripan gangguan Asperger dengan gangguan autistik menyebabkan hipotesis genetik, metabolit, infeksi, dan perinatal.

Diagnosis dan Gambaran Klinis
Gambaran klinis adalah sekurangnya dua indikasi gangguan sosial kualitatif berikut ini: gaya komunikatif nonverbal yang jelas abnormal, kegagalan mengembangkan hubungan dengan teman sebaya, tidak adanya timbal balik sosial atau emosional, dan gangguan untuk mengekspresikan kesenangan atas kebahagiaan orang lain. Minat yang terbatas dan pola perilaku selalu ditemukan.
Diagnosis Banding
Diagnosis Banding adalah gangguan autistik, gangguan perkembangan pervasif yang tidak ditentukan, dan, pada pasien yang mendekati masa dewasa, gangguan kepribadian skizoid. Menurut DSM-IV, perbedaan yang paling jelas antara gangguan Asperger dan gangguan autistik adalah kriteria tentang keterlambatan dan disfungsi bahasa. Tidak adanya keterlambatan bahasa adalah persyaratan untuk gangguan Aseprger, tetapi gangguan bahasa adalah gambaran inti dari gangguan autistik.
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Asperger
A. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, seperti ditunjukkan oleh sekurangnya dua:
(1) gangguan jelas dalam penggunaan perilaku nonverbal multipel seperti tatapan mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerak gerik untuk mengatur interaksi sosial
(2) gagalmengembangkan hubungan dg teman sebaya menurut tingkat perkembangan
(3) gangguan jelas dalam ekspresi kesenangan dalam kegembiraan orang lain
(4) tidak ada timbal balik sosial atau emosional
B. Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan stereotipik, seperti ditunjukkan oleh sekurangnya satu dari berikut:
(1) preokupasi dengan satu atau lebih pola minat yang stereotipik dan terbatas, yang abnormal baik dalam intensitas maupun fokusnya.
(2) Ketaatan yang tidak fleksibel terhadap rutinitas/ritual yang spesifik & nonfungsional
(3) Manerisme motorik stereotipik dan berulang (misalnya, menjentikkan atau memuntirkan tangan atau jari, atau gerakan kompleks seluruh tubuh).
(4) Preokupasi persisten dengan bagian-bagian benda
C. Gangguan menyebabkan gangguan yang bermakna secara klinis dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
D. Tidak terdapat keterlambatan menyeluruh yang bermakna secara klinis dalam bahasa (menggunakan kata tunggal pd usia 2 thun, frasa komunikatif digunakan pd usia 3 th.
E. Tidak terdapat keterlambatan yang bermakna secara klinis dalam perkembangan kognitif atau dalam perkembangan keterampilan menolong diri sendiri dan perilaku adaptif yang sesuai dengan usia ( selain dalam interaksi sosial), dan keingitahuan tentang lingkungan pada masa anak-anak.
F. Tidak memenuhi kriteria gangguan perkembangan pervasif spesifik atau skizofrenia.

GANGGUAN RETT

Etiologi
Penyebab tidak diketahui, walaupun perjalanan penyakit yang memburuk secara progresif setelah periode awal yang normal adalah sesuai dengan gangguan metabolik. Pada beberapa pasien dengan gangguan Rett terjadi hiperamonemia. Kemungkinan bahwa gangguan Rett memiliki dasar genetik, karena hanya ditemukan pada anak perempuan, dan laporan kasus sejauh ini menyatakan adanya kesesuaian lengkap pada kembar monozigotik.
Diagnosis dan Gambaran Klinis
Selama 5 bulan pertama setelah lahir, bayi memiliki keterampilan motorik yang sesuai dengan usia, lingkaran kepala yang normal, dan pertumbuhan yang normal. Interaksi sosial menunjukkan kualitas timbal balik yang diharapkan. Pada umur 6 bulan sampai 2 tahun, anak-anak mengalami ensefalopati progresif, dengan sejumlah ciri karakteristik.
Tanda-tanda seringkali berupa hilangnya gerakan tangan yang bertujuan, yang digantikan oleh gerakan stereotipik, seperti memuntirkan tangan, hilangnya bicara yang sebelumnya telah didapatkan, retardasi psikomotor, dan ataksia. Gerakan stereotipik lain pada tangan dapat terjadi, seperti menjilat atau menggigit jari dan gerakan menepuk atau menjentik. Pertumbuhan lingkaran kepala melambat, yang menyebabkan mikrosefali. Semua keterampilan bahasa hilang, dan keterampilan komunikatif reseptif maupun ekspresif dan sosial tampaknya mendatar pada tingkat perkembangan antara 6 bulan dan 1 tahun. Koordinasi otot yang buruk dan gaya berjalan apraksik berkembang; gaya berjalan memiliki kualitas yang tidak mantap dan kaku. Semua gambaran klinis di atas adalah kriteria diagnostik untuk gangguan.
Kriteria Diagnosis untuk Gangguan Rett
A. Semua berikut:
(1) perkembangan pranatal dan perinatal yang tampaknya normal
(2) perkembangan psikomotor yang tampaknya normal selama lima bulan pertama setelah lahir
(3) lingkaran kepala yang normal saat lahir
B. Onset semua berikut ini setelah periode perkembangan normal:
(1) perlambatan pertumbuhan kepala antara usia 5 dan 48 bulan
(2) hilangnya keterampilan tangan bertujuan yang sebelumnya telah dicapai antara usia 5 dan 30 bulan dengan diikuti perkembangan gerakan tangan stereotipik (misalnya, memuntirkan tangan atau mencuci tangan)
(3) hilangnya keterlibatan sosial dalam awal perjalanan (walaupun seringkali interaksi sosial tumbuh kemudian)
(4) terlihatnya gaya berjalan atau gerakan batang tubuh yang terkoordinasi secara buruk
(5) gangguan parah pada perkembangan bahasa ekspresif dan reseptif dengan retardasi psikomotor yang parah
Diagnosis Banding
Beberapa anak dengan gangguan Rett mendapatkan diagnosis awal gangguan autistik karena adanya ketidakmampuan yang jelas dalam interaksi sosial pada gangguan tersebut. Tetapi kedua gangguan memiliki perbedaan yang dapat diramalkan. Pada gangguan Rett, anak menunjukkan pemburukan kejadian perkembangan, lingkaran kepala, dan pertumbuhan keseluruhan; pada gangguan autistik; penyimpangan perkembangan pada sebagian besar kasus terjadi sejak awal. Pada gangguan Rett, gerakan tangan yang spesifik dan karakteristik selalu ditemukan; pada gangguan autistik, berbagai manerisme tangan mungkin terjadi atau tidak. Koordinasi yang buruk, ataksia, dan apraksia, merupakan bagian dari gangguan Rett yang ditemukan; banyak orang dengan gangguan autistik meiliki fungsi motorik kasar yang tidak istimewa. Pada gangguan Rett, kemampuan verbal biasanya hilang sama sekali; pada gangguan autistik, pasien menggunakan bahasa yang menyimpang secara karakteristik. Iregularitas pernafasan adalah karakteristik untuk gangguan Rett, dan kejang seringkali ditemukan sejak awal; pada gangguan autistik, tidak ada disorganisasi pernafasan yang ditemukan, dan kejang tidak berkembang pada sebagian besar pasien; jika kejang berkembang, kemungkinan lebih sering terjadi pada masa remaja dibandingkan pada masa anak-anak.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Gangguan Rett adalah progresif. Prognosis tidak diketahui sepenuhnya, tetapi pasien tersebut yang hidup sampai masa dewasa tetap pada tingkat kognitif dan sosial yang sama dengan tingkat pada tahun pertama kehidupan.
Terapi
Terapi pada intervensi simptomatik. Fisioterapi telah bermanfaat bagi disfungsi otot, dan terapi antikonvulsan biasanya diperlukan untuk mengendalikan kejang. Terapi perilaku adalah berguna untuk mengendalikan perilaku melukai diri sendiri, seperti juga dalam terapi gangguan autistik, dan dapat membantu mengatur disorganisasi pernafasan.

GANGGUAN AUTISTIK

Epidemiologi
Prevalensi 2-5 per 10.000 anak (0,02-0,05%) di bawah usia 12 tahun. Sebagian besar kasus mulai sebelum 36 bulan tetapi mungkin tidak terlihat bagi orang tua. 3-5 kali lebih banyak anak laki-laki. Tetapi anak perempuan yang memiliki gangguan autistik cenderung terkena lebih serius.
Etiologi dan Patogenesis
Faktor psikodinamika dan keluarga. Tidak ada bukti memuaskan yang menyatakan bahwa fungsi keluarga yang menyimpang atau kumpulan faktor psikodinamika menyebabkan gangguan autistik. Namun demikian, beberapa anak autistik berespon terhadap stresor psikososial, seperti kelahiran seorang adik atau pindah ke rumah baru, dengan eksaserbasi gejala.
Kelainan organik-neurologis-biologis. Gangguan autistik dan gejala autistik berhubungan dengan kondisi yang memiliki lesi neurologis, terutama rubella kongenital, fenilketonuria (PKU), sklerosis tuberosus, dan gangguan Rett. Anak autistik menunjukkan lebih banyak tanda komplikasi perinatal. Temuan bahwa komplikasi kehamilan dalam trimester pertama adalah bermakna.
4-32% memiliki kejang grand mal pada suatu saat dalam kehidupannya, kira-kira 20-25% menunjukkan pembesaran ventrikular pada pemeriksaan tomografi komputer. Berbagai kelainan elektroensefalogram (EEG) ditemukan pada 10-83%, terdapat indikasi kegagalan lateralisasi serebral.
Pencitraan resonansi magnetik (MRI; magnetic resonance imaging) menemukan hipoplasia pada lobulus vermal VI dan VII serebelar, dan penelitian MRI lain menemukan abnormalitas kortikal, terutama polimikrogria, pada beberapa pasien autistik, mencerminkan migrasi sel abnormal dalam 6 bulan pertama gestasi. Suatu pemeriksaan otopsi menemukan penelitian lain terdapat peningkatan metabolisme kortikal difus selama pemeriksaan tomografi emisi positron (PET; positron emission tomography).
Faktor genetika. 2-4% sanak saudara ditemukan terkena gangguan autistik.
Faktor imunologis. Beberapa bukti menyatakan bahwa inkompatibilitas imunologi antara ibu dan embrio atau janin dapat menyebabkan gangguan autistik. Limfosit beberapa anak autistik bereaksi dengan antibodi maternal, yang meningkatkan kemungkinan bahwa jaringan neural embrionik atau ekstraembrional mungkin mengalami kerusakan selama kehamilan.
Faktor perinatal. Perdarahan maternal setelah trimester pertama, mekonium dalam cairan amnion. Pada periode neonatus, memiliki insidensi tinggi sindroma gawat pernafasan dan anemia neonatus. Beberapa bukti menyatakan tingginya insidensi pemakaian medikasi selama kehamilan oleh ibu dari anak autistik.
Temuan neuroanatomi. Lobus temporalis telah diperkirakan sebagai bagian penting dalam otak yang mungkin abnormal dalam gangguan autistik. Temuan lain pada gangguan autistik adalah penurunan sel Purkinje di serebelum, kemungkinan menyebabkan kelainan atensi, kesadaran, dan proses sensorik.
Temuan biokimiawi. Sekurangnya sepertiga pasien dengan gangguan autistik mengalami peningkatan serotonin plasma. Temuan itu tidak spesifik untuk gangguan autistik, karena orang dengan retardasi mental tanpa gangguan autistik juga memiliki kecenderungan tersebut. Pasien dengan gangguan autistik tanpa retardasi mental juga memiliki insidensi tinggi hiperserotonemia.
Pada beberapa anak autistik, peningkatan homovanillic acid (suatu metabolit utama dopamin) dalam cairan serebrospinalis adalah disertai dengan peningkatan penarikan diri dan stereotipik. Beberapa bukti menyatakan bahwa keparahan gejala menurun saat rasio 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA, metabolit serotonin) cairan serebrospinalis terhadap homovanillic acid cairan serebrospinalis meningkat.
Diagnosis dan Gambaran Klinis
Karakteristik fisik
PENAMPILAN. Antara usia 2 dan 7 tahun, mereka juga cenderung lebih pendek dibandingkan populasi normal.
TANGAN DOMINAN. Banyak anak autistik mengalami kegagalan lateralisasi.
PENYAKIT FISIK PENYERTA. Anak-anak gangguan autistik yang muda memiliki insidensi yang agak lebih tinggi mengalami infeksi saluran pernafasan bagian atas, bersendawa yang berlebihan, kejang demam, konstipasi, dan gerakan usus yang kendur.
Karakteristik perilaku
GANGGUAN KUALITATIF PADA INTERAKSI SOSIAL. Semua anak autistik gagal menunjukkan keakraban yang lazimnya terhadap orang tua mereka dan orang lain. Saat bayi, banyak yang tidak memiliki senyum sosial dan sikap tidak mau digendong jika seorang dewasa mendekati. Kontak mata yang abnormal adalah temuan yang sering. Perkembangan sosial anak autistik ditandai oleh tidak adanya (tetapi tidak selalu tidak ada sama sekali) perilaku melekat dan kegagalan yang relatif awal pada pertalian terhadap orang tertentu. Anak autistik seringkali tidak terlihat mengenali atau membedakan orang-orang yang paling penting dalam kehidupannya – orang tua, sanak saudara, dan guru. Dan mereka mungkin hampir tidak menunjukkan cemas perpisahan saat ditinggal di dalam lingkungan yang asing dengan orang asing.
GANGGUAN KOMUNIKASI DAN BAHASA. Penyimpangan bahasa, seperti keterlambatan bahasa, adalah karakteristik untuk gangguan autistik. Dalam tahun pertama kehidupan, banyaknya dan frekuensi celoteh anak autistik mungkin menurun atau abnormal. Beberapa anak mengeluarkan bunyi – bunyi klik, suara, pekikan, dan suku kata tanpa arti – dalam cara yang stereotipik tanpa terlihat minat untuk berkomunikasi.
Pembicaraan mereka mengandung ekolalia, baik segera atau terlambat, atau frasa stereotipik di luar konteks. Kelainan tersebut sering disertai dengan pembalikan kata sebutan; yaitu, seorang anak perempuan berkata,”kamu ingin mainan?” saat ia bermaksud menginginkan mainan. Kesulitan dalam artikulasi juga ditemukan. Pemakaian kualitas dan irama suara yang aneh terlihat secara klinis pada banyak kasus.
PERILAKU STEREOTIPIK. Aktivitas dan permainan anak autistik kaku, berulang, dan monoton. Fenomena ritualistik dan kompulsif adalah sering ditemukan pada masa anak-anak awal dan pertengahan. Anak autistik seringkali memutarkan, membanting, dan membariskan benda-benda dan menjadi terlekat pada benda mati. Disamping itu, banyak anak autistik, terutama mereka dengan intelektual yang paling terganggu, menunjukkan berbagai kelainan gerakan. Stereotipik, manerisme, dan seringkali adalah paling sering terlihat jika anak ditinggalkan sendiri dan dapat menurun pada situasi yang terstruktur. Anak autistik tahan terhadap transisi dan perubahan. Pindah ke rumah baru, memindahkan perabotan di dalam ruangan, dan makan pagi sebelum mandi jika merupakan kebalikan dari rutinitas mungkin menyebabkan panik atau temper tantrum.
KETIDAKSTABILAN MOOD DAN AFEK. Menunjukkan perubahan dengan emosional yang tiba-tiba, dengan ledakan tawa atau tangisan tanpa terlihat alasan dan tidak mengekspresikan pikiran yang sesuai dengan afek.
RESPON TERHADAP STIMULI SENSORIK. Responsif secara berlebihan atau kurang responsif terhadap stimuli sensorik (sebagai contohnya, suara dan nyeri). Mereka mungkin secara selektif mengabaikan ucapan yang diarahkan pada dirinya, dan sehingga mereka sering disangka tuli. Tetapi, mereka mungkin menunjukkan minat yang tidak lazim terhadap bunyi detik jam tangan. Banyak yang memiliki peningkatan ambang nyeri atau perubahan respon terhadap nyeri. Malahan, anak autistik mungkin melukai dirinya sendiri secara parah dan tidak menangis.
GEJALA PERILAKU LAIN. Hiperkinesis adalah masalah perilaku yang sering pada anak autistik yang muda. Seringkali berganti-ganti dengan hiperaktivitas. Agresivitas dan temper tantrum terlihat, seringkali dengan alasan yang tidak jelas, atau disebabkan oleh perubahan atau tuntutan. Perilaku melukai diri sendiri adalah berupa membenturkan kepala, menggigit, mencakar, dan menarik rambut. Rentang perhatian yang pendek, ketidakmampuan sama sekali untuk memusatkan pada pekerjaan, insomnia, masalah pemberian makanan dan makan, enuresis, dan enkopresis juga sering ditemukan.
Tes Intelegensia menemukan nilai kecerdasan (I.Q.) 68, dengan gangguan ringan pada fungsi adaptif. Pemeriksaan bahasa menunjukkan pemakaian bahasa yang jelas idiosinkratik dan ekolalia yang sering.
Fungsi intelektual. 40% memiliki nilai intelegensia (I.Q.) di bawah 50 sampai kira-kira 70 (retardasi mental ringan).
Pemutusan psikososial. Gangguan parah dalam lingkungan fisik dan emosional (seperti pemisahan dari ibu, kekerdilan psikososial, perawatan di rumah sakit, dan gagal tumbuh) dapat menyebabkan anak apatis, menarik diri, dan terasing. Keterampilan bahasa dan motorik dapat terlambat. Anak-anak dengan tanda tersebut hampir selalu membaik dengan cepat jika ditempatkan dalam lingkungan psikososial yang menyenangkan dan diperkaya, yang tidak terjadi pada anak autistik.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Gangguan autistik memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan prognosis yang terbatas. Beberapa anak-anak autistik menderita kehilangan semua atau beberapa bicara yang ada sebelumnya. Prognosis membaik jika lingkungan atau rumah adalah suportif dan mampu memenuhi kebutuhan anak tersebut yang sangat banyak.
Terapi
Tujuan terapi adalah menurunkan gejala perilaku dan membantu perkembangan fungsi yang terlambat, rudimeter, atau tidak ada, seperti keterampilan bahasa dan merawat diri sendiri. Metode pendidikan dan perilaku sekarang dianggap merupakan terapi yang terpilih. Tetapi, program latihan adalah melelahkan dan memerlukan banyak waktu orang tua. Anak autistik memerlukan sebanyak mungkin struktur, dan program harian selama mungkin adalah diharapkan.
Walaupun tidak ada obat yang ditemukan spesifik untuk gangguan autistik, psikofarmakoterapi adalah tambahan yang berguna bagi program terapi menyeluruh. Pemberian haloperidol (Haldol) menurunkan gejala perilaku dan mempercepat belajar. Obat menurunkan hiperaktivitas, stereotipik, menarik diri, kegelisahan, hubungan objek abnormal, iritabilitas, dan afek yang labil. Bukti-bukti pendukung menyatakan bahwa, jika digunakan dengan bijaksana, haloperidol tetap merupakan obat efektif jangka panjang. Fenfluramine (Pondimin), yang menurunkan kadar serotonin darah, adalah efektif pada beberapa anak autistik. Perbaikan tampaknya tidak berhubungan dengan penurunan kadar serotonin darah.

GANGGUAN PERKEMBANGAN PERVASIF

Gangguan perkembangan pervasif adalah kelompok kondisi psikiatrik di mana keterampilan sosial diharapkan, perkembangan bahasa, dan kejadian perilaku tidak berkembang secara sesuai atau hilang pada masa anak-anak awal.
DSM-IV memiliki beberapa gangguan lain dalam kategori gangguan perkembangan pervasif: gangguan autistik, gangguan Rett, ganguan disintegratif masa anak-anak, dan gangguan Asperger.

GANGGUAN EKSPRESI TULISAN

Gangguan ekspresi tulisan ditandai oleh keterampilan menulis yang secara bermakna di bawah tingkat yang diharapkan menurut usia, kapasitas intelektual, dan pendidikan seseorang seperti yang diukur dengan tes yang baku.
Beberapa dekade lalu pendapatnya adalah bahwa ketidakmampuan menulis tidak terjadi tanpa adanya gangguan membaca, tetapi sekarang telah diketahui bahwa gangguan ekspresi menulis dapat terjadi sendirian. Ketidakmampuan menulis seringkali disertai dengan gangguan belajar lainnya tetapi dapat didiagnosis lebih lambat dari yang lainnya, karena menulis ekspresif didapat lebih lambat daripada bahasa dan membaca.
Epidemiologi
Prevalensi diperkirakan 3-10% usia sekolah. Rasio laki-laki:wanita tidak diketahui. Anak yang terkena seringkali dari keluarga dengan riwayat gangguan tersebut.
Etiologi
Satu hipotesis menyatakan bahwa gangguan ekspresi menulis disebabkan dari kombinasi efek satu atau lebih gangguan-gangguan berikut ini: gangguan bahasa ekspresif, gangguan bahasa reseptif/ekspresif, dan gangguan membaca. Pandangan tersebut menyatakan kemungkinan adanya defek atau malfungsi neurologis dan kognitif di suatu tempat di area pusat pemroses informasi di otak.
Predisposisi herediter dinyatakan oleh temuan empiris bahwa sebagaian besar anak dengan gangguan ekspresi menulis memiliki sanak saudara dengan gangguan.
Karakteristik temperamental mungkin memiliki peranan, terutama dengan karakteristik tertentu seperti rentang perhatian pendek dan mudah dialihkan perhatiannya.
Diagnosis
Diagnosis gangguan ekspresi menulis dibuat berdasarkan prestasi seseorang yang terus menerus buruk pada komposisi teks tertulis. Adanya gangguan berat, seperti gangguan perkembangan pervasif atau retardasi mental, dapat menghilangkan diagnosis gangguan ekspresi menulis. Gangguan lain yang harus dibedakan dari gangguan ekspresi menulis adalah gangguan komunikasi, gangguan membaca, dan gangguan penglihatan dan pendengaran.
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Ekspresi Tulisan
A. Keterampilan menulis, seperti yang diukur oleh tes baku yang diberikan secara individual (atau penilaian fungsional keterampilan menulis), adalah jelas di bawah tingkat yang diharapkan menurut usia kronologis pasien, inteligensia yang terukur, dan pendidikan yang sesuai dengan usia.
B. Gangguan dalam kriteria A secara bermakna mengganggu pencapaian akademik atau aktivitas kehidupan sehari-hari yang memerlukan komposisi teks tertulis (misalnya, menulis kalimat yang tepat secara tata bahasa dan paragraf yang tersusun).
C. Jika terdapat defisit sensorik, kesulitan dalam keterampilan menulis adalah melebihi apa yang biasanya berhubungan dengannya.
Gambaran Klinis
Anak-anak dengan gangguan ekspresi menulis menunjukkan kesulitan pada kelas-kelas pertamanya dalam mengeja kata dan mengekspresikan pikirannya menurut aturan tata bahasa yang sesuai menurut usianya. Kalimat yang diucapkan dan ditulis mengandung kesalahan tata bahasa yang tidak lazim dan susunan paragraf yang buruk. Selama dan setelah kelas dua, anak-anak seringkali membuat kesalahan tata bahasa sederhana dalam menulis kalimat pendek. Sebagai contohnya, mereka seringkali gagal, walaupun terus menerus diingatkan, untuk memulai huruf pertama suatu kalimat dengan huruf kapital dan mengakhiri kalimat dengan spasi.
Saat mereka menjadi semakin besar dan naik ke kelas yang lebih tinggi di sekolahnya, kalimat yang diucapkan dan ditulis anak tersebut menjadi lebih primitif, aneh, dan inferior dibandingkan apa yang diharapkan dari pelajar dalam kelasnya.
Ciri penyerta gangguan ekspresi menulis adalah penolakan atau keengganan untuk pergi ke sekolah dan untuk melakukan pekerjaan rumah tertulis, prestasi akademik yang buruk dalam bidang lain (seperti matematika), tidak memiliki minat seluruhnya dalam pekerjaan sekolah, membolos, defisit-atensi, dan gangguan konduksi.
Sebagian besar anak dengan gangguan ekspresi menulis menjadi frustasi dan marah karena perasaan ketidakmampuan mereka dan kegagalan dalam prestasi akademik. Mereka mungkin memiliki gangguan depresif kronis sebagai akibat dari semakin meningkatnya rasa isolasi, dijauhi, dan kekecewaan.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Karena gangguan menulis, bahasa, dan membaca seringkali terjadi bersama-sama dan karena seorang anak normalnya berbicara dengan baik sebelum belajar membaca dan belajar membaca dengan baik sebelum menulis baik, seorang anak dengan ketiga gangguan tersebut memiliki gangguan bahasa ekspresif yang didiagnosis pertama kali dan gangguan ekspresi menulis yang didiagnosis terakhir.
Pada kasus yang parah suatu gangguan ekspresi menulis terlihat pada usia 7 tahun (kelas dua); pada kasus yang kurang parah gangguan mungkin tidak terlihat sampai usia 10 tahun (kelas lima).
Terapi
Terapi yang terbaik sekarang ini adalah pendidikan pengobatan. Terapi gangguan memerlukan hubungan pasien dan ahli terapi yang optimal, seperti dalam psikoterapi. Keberhasilan atau kegagalan dalam mempertahankan motivasi pasien sangat mempengaruhi kemanjuran terapi jangka panjang.

GANGGUAN MATEMATIKA

Gangguan matematika sebenarnya adalah suatu ketidakmampuan dalam melakukan keterampilan aritmatika yang diharapkan untuk kapasitas intelektual dan tingkat pendidikan seseorang. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi 4 (DSM-IV), gangguan matematika adalah salah satu gangguan belajar.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi 6% pada anak usia sekolah yang tidak mengalami retardasi mental. Gangguan mungkin lebih sering pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.
ETIOLOGI
Penyebab gangguan matematika adalah tidak diketahui. Suatu teori awal mengajukan defisit neurologis di hemisfer serebral kanan, terutama di lobus ospitalis. Daerah tersebut adalah bertanggung jawab untuk memproses stimuli visual-spasial yang, sebaliknya, adalah bertanggung jawab untuk keterampilan matematika.
Pandangan sekarang adalah bahwa penyebabnya adalah multifaktor. Faktor maturasional, kognitif, emosional, pendidikan, dan sisioekonomi menyebabkan berbagai derajat dan kombinasi untuk gangguan matematika.
DIAGNOSIS
Pada kasus gangguan matematika yang tipikal, pertanyaan yang cermat tentang riwayat kinerja sekolah anak mengungkapkan kesulitan awal dengan subjek aritmatika. Diagnosis definitif dapat dibuat hanya setelah anak mengerjakan tes aritmatika baku yang diberikan secara individual dan nilainya jelas di bawah tingkat yang diharapkan, dengan mengingat sekolah dan kapasitas intelektual anak seperti yang diukur dengan tes kecerdasan baku. Gangguan perkembangan pervasif dan retardasi mental harus disingkirkan sebelum menegakkan diagnosis gangguan matematika. Kriteria diagnostik untuk gangguan matematika diberikan dalam tabel 36.2-1
GAMBARAN KLINIS
Sebagian besar anak dengan gangguan matematika dapat diklasifikasikan selama kelas dua dan tiga dalam sekolah dasar. Kinerja anak yang terkena dalam menangani konsep angka dasar, seperti menghitung dan menjumlahkan bahkan satu angka, adalah lebih rendah secara bermakna dibandingkan aturan yang diharapkan menurut usianya, tetapi anak menunjukkan keterampilan intelektual yang normal pada bidang lain.
Selama dua atau tiga tahun pertama sekolah dasar, seorang anak dengan gangguan matematika tampak mengalami kemajuan dalam matematika dengan menyandarkan pada ingatan hafalan. Tetapi dengan segera, saat aritmatika berkembang menjadi tingkat yang kompleks yang memerlukan diskriminasi dan manipulasi hubungan ruang dan numerik, adanya gangguan menjadi dicurigai.
PERJALANAN PENYAKIT
Gangguan matematika biasanya tampak pada saat anak berusia 8 tahun (kelas tiga). Pada beberapa anak gangguan tampak pada usia 6 tahun (kelas satu), dan pada anaka lain tidak terlihat sampai usia 10 tahun (kelas lima) atau lebih lambat.
Komplikasi termasuk kesulitan akademik yang terus menerus, konsep diri yang buruk, depresi, dan frustasi. Komplikasi tersebut selanjutnya dapat menyebabkan keengganan masuk sekolah, membolos, atau gangguan konduksi.
TERAPI
Terapi yang paling efektif sekarang ini untuk gangguan matematika adalah pendidikan pengobatan.

GANGGUAN MEMBACA

Gangguan membaca ditandai oleh gangguan kemampuan untuk mengenali kata, membaca yang lambat dan tidak tepat, dan pemahaman yang buruk tanpa adanya kecerdasan yang rendah atau defisit sensorik yang bermakna. Anak dengan gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas (ADHD) memiliki resiko tinggi untuk gangguan membaca.
Pada dasarnya, pencapaian membaca di bawah tingkat yang diharapkan untuk usia, pendidikan, dan kecerdasan anak, dan gangguan cukup bermakna mempengaruhi keberhasilan akademik atau aktivitas harian yang melibatkan membaca.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi terentang 2-8%. Tiga sampai empat Kali lebih banyak anak laki-laki. Angka untuk anak laki-laki mungkin meningkat, karena anak laki-laki dengan gangguan membaca condong diambil karena kesulitan perilaku yang banyak.
ETIOLOGI
Tidak ada penyebab tunggal yang diketahui untuk gangguan membaca; karena banyak disertai gangguan belajar dan kesulitan berbahasa, gangguan membaca kemungkinan adalah multifactorial.
1. Pemaparan prenatal dengan penyakit infeksi maternal.
2. Genetic, cenderung menonjol diantara anggota keluarga orang yang terkena.
3. Model fungsi hemisferik serebral, menyatakan korelasi positif gangguan membaca kebingungan antara kanan dan kiri (right-left confusion)
4. Beberapa penelitian terakhir (pemeriksaan tomografi computer [CT; computed tomography]; pencitraan resonansi magnetic [MRI; magnetic resonance imaging], dan pada otopsi) telah menunjukkan simetrisitas abnormal pada lobus temporalis dan parietas orang dengan gangguan membaca.
Insidensi tinggi gangguan membaca cenderung ditemukan pada anak-anak dengan palsi serebral yang memiliki kecerdasan normal. Insidensi gangguan membaca yang agak tinggi ditemukan diantara anak epileptik. Komplikasi selama kehamilan; kesulitan pranatal dan pascanatal, termasuk prematuritas; dan berat badan lahir rendah adalah sering ditemukan dalam riwayat anak dengan gangguan membaca.
Gangguan membaca mungkin merupakan salah satu manifestasi dari keterlambatan perkembangan atau keterlambatan maturasional. Peranan temperamental telah dilaporkan berhubungan erat dengan gangguan membaca. Dibandingkan dengan anak-anak tanpa gangguan membaca, anak-anak dengan gangguan membaca seringkali memiliki lebih banyak kesulitan dalam memusatkan perhatian dan memiliki rentang perhatian yang pendek.
Beberapa penelitian menunjukkan suatu hubungan antara malnutrisi dan fungsi kognitif. Gangguan membaca berat seringkali disertai dengan masalah psikiatrik.
DIAGNOSIS
Ciri diagnosis utama gangguan membaca adalah pencapaian membaca yang jelas di bawah kapasitas intelektual seseorang. Ciri karakteristik lain adalah kesulitan dalam mengingat, evokasi, dan mengikuti huruf dan kata yang dicetak; dalam memproses konstruksi tata bahasa yang sulit; dan dengan membuat kesimpulan.
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Ekspresi Tulisan
A. Keterampilan menulis, seperti yang diukur oleh tes baku yang diberikan secara individual (atau penilaian fungsional keterampilan menulis), adalah jelas di bawah tingkat yang diharapkan menurut usia kronologis pasien, intelegensia yang terukur, dan pendidikan yang sesuai dengan usia.
B. Gangguan dalam kriteria A secara bermakna mengganggu pencapaian akademik atau aktivitas kehidupan sehari-hari yang memerlukan komposisi teks tertulis (misalnya, menulis kalimat yang tepat secara tata bahasa dan paragraf yang tersusun).
C. Jika terdapat defisit sensorik, kesulitan dalam keterampilan menulis adalah melebihi apa yang biasanya berhubungan dengannya.
Tes Psikoedukasional
Disamping tes kecerdasan baku, tes diagnostik psikoedukasional harus dilakukan. Kumpulan diagnostik dapat termasuk tes pengejaan baku, menulis suatu komposisi, memproses dan menggunakan bahasa oral, dan mencontoh rancangan, suatu pertimbangan keadekuatan penggunaan pensil. Kumpulan skrining proyektif dapat termasuk menggambar tokoh manusia, tes mengisahkan gambar, dan melengkapi kalimat. Pemeriksaan harus juga termasuk pengamatan sistematik dari variabel perilaku.
GAMBARAN KLINIS
Gangguan membaca biasanya tampak pada usia 7 tahun (kelas dua). Pada kasus berat, bukti-bukti kesulitan mungkin tampak pada umur 6 tahun (kelas satu). Kadang-kadang gangguan membaca terkompensasi pada tingkat dasar awal, terutama jika disertai dengan skor yang tinggi pada tes kecerdasan. Pada kasus tersebut gangguan mungkin tidak terlihat sampai umur 9 tahun (kelas empat) atau lebih lambat.
1. Membuat banyak kesalahan dalam membaca oralnya. Kesalahan membaca ditandai oleh menghilangkan, menambahkan, atau penyimpangan kata.
2. Kesulitan membedakan antara karakter dan ukuran huruf.
3. Kecepatan membaca lambat, seringkali dengan pemahaman yang minimal.
4. Hampir semuanya pengeja yang buruk.
5. Masalah penyerta adalah kesulitan bahasa, yang terlihat sebagai gangguan diskriminasi bunyi dan kesulitan dalam mengurutkan kata dengan tepat.
Anak tidak menyukai membaca dan menulis dan menghindarinya Kecemasan meningkat, malu dan rendah diri karena kegagalan mereka yang terus menerus dan frustasi. Anak yang lebih besar cenderung marah, terdepresi, menunjukkan harga diri yang buruk.
PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS
Kendatipun tanpa bantuan pengobatan, banyak anak dengan gangguan membaca akan memperoleh sedikit informasi tentang bahasa tercetak selama dua tahun pertama dalam sekolah dasar. Pada akhir kelas satu, beberapa anak telah belajar bagaimana membaca beberapa kata. Tetapi, jika tidak diberikan intervensi pendidikan pengobatan pada kelas tiga, anak tetap terganggu membacanya. Dalam keadaan yang paling baik, anak diklasifikasikan dalam risiko untuk mengalami gangguan membaca selama bertahun-tahun sekolah taman kanak-kanak atau pada awal kelas satu.
Jika pengobatan diberikan segera, kadang-kadang dapat dihentikan pada akhir kelas satu atau dua. Pada kasus yang berat dan tergantung pada pola kelemahan dan kekuatan, pengobatan dapat dilanjutkan sampai tahun-tahun sekolah menengah pertama dan atas. Anak-anak yang telah mengkompensasi dengan memuaskan ataupun pulih dari gangguan membaca awal adalah banyak ditemukan dalam keluarga dengan latar belakang sosioekonomi yang maju.
TERAPI
Terapi terpilih untuk gangguan membaca adalah pendekatan pendidikan pengobatan (remedial educational approach). Seperti dalam psikoterapi, hubungan ahli terapi dan pasien adalah penting untuk keberhasilan hasil terapi dalam terapi pendidikan pengobatan.
Anak-anak dengan gangguan membaca harus ditempatkan dalam kelas yang sedekat mungkin dengan tingkat fungsional sosialnya dan diberikan tugas pengobatan khusus dalam membaca. Masalah emosional dan perilaku yang ada bersama-sama harus diobati dengan cara psikoterapi yang sesuai. Konseling parental mungkin juga menolong.

gangguan belajar (pengobatan)

Pengobatan yang paling berguna untuk gangguan belajar adalah pendidikan yang secara hati-hati disesuaikan dengan individu anak. Cara seperti membatasi makanan aditif, menggunakan vitamin dalam jumlah besar, dan menganalisa sistem anak untuk trace mineral seringkali dicoba tetapi tidak terbukti. Tidak ada obat-obatan yang cukup efektif pada pencapaian akademis, intelegensi, dan kemampuan pembelajaran umum. Karena beberapa anak dengan gangguan belajar juga mengalami ADHD, obat-obatan tertentu, seperti methylphenidate, bisa meningkatkan perhatian dan konsentrasi, meningkatkan kemampuan anak untuk belajar.

gangguan belajar (diagnosa)

Anak yang tidak membaca atau belajar pada tingkatan yang diharapkan untuk kemampuan verbal atau kecerdasan harus dievaluasi. Pemeriksaan pendengaran dan penglihatan harus dijalankan, karena masalah pikiran sehat ini bisa juga berhubungan dengan keahlian membaca dan menulis.

Dokter meneliti anak tersebut untuk berbagai gangguan fisik. Anak tersebut melakukan rangkaian tes kecerdasan, baik verbal maupun non verbal, dan tes akademik pada membaca, menulis, dan keahlian aritmatik.

gangguan belajar (gejala)

Anak kecil kemungkinan lambat untuk mempelajari nama-nama warna atau huruf, untuk menyebutkan kata-kata untuk objek yang dikenal, untuk menghitung, dan untuk kemajuan pada awal keahlian belajar lain. Belajar untuk membaca dan menulis kemungkinan tertunda. Gejala-gejala lain dapat berupa perhatian dengan jangka waktu yang pendek dan kemampuan yang kacau, berhenti bicara, dan ingatan dengan jangka waktu yang pendek. Anak tersebut bisa mengalami kesulitan dengan aktifitas yang membutuhkan koordinasi motor yang baik, seperti mencetak dan mengkopi.

Anak dengan gangguan belajar bisa mengalami kesulitan komunikasi. Beberapa anak mulanya menjadi frustasi dan kemudian mengalami masalah tingkah laku, seperti menjadi mudah kacau, hiperaktif, menarik diri, malu, atau agresif.

gangguan belajar (penyebab)

Meskipun penyebab gangguan belajar tidak sepenuhnya dimengerti. Mereka termasuk kelainan pada proses dasar yang berhubungan dalam memahami atau menggunakan ucapan atau penulisan bahasa atau numerik dan pertimbangan ruang.

Diperkirakan 3 sampai 15% anak bersekolah di Amerika Serikat memerlukan pelayanan pendidikan khusus untuk menggantikan gangguan belajar. Anak laki-laki dengan gangguan belajar bisa melebihi anak gadis lima banding satu, meskipun anak perempuan seringkali tidak dikenali atau terdiagnosa mengalami gangguan belajar.

Kebanyakan anak dengan masalah tingkah laku tampak kurang baik di sekolah dan diperiksa dengan psikologis pendidikan untuk gangguan belajar. Meskipun begitu, beberapa anak dengan jenis gangguan belajar tertentu menyembunyikan gangguan mereka dengan baik, menghindari diagnosa, dan oleh karena itu pengobatan, perlu waktu yang lama.

gangguan belajar (definisi)

Gangguan Belajar DEFINISI
Gangguan belajar meliputi kemampuan untuk memperoleh, menyimpan, atau menggunakan keahlian khusus atau informasi secara luas, dihasilkan dari kekurangan perhatian, ingatan, atau pertimbangan dan mempengaruhi performa akademi.

Gangguan belajar sangat berbeda dari keterlambatan mental dan terjadi dengan normal atau bahkan fungsi intelektual tinggi. Gangguan belajar hanya mempengaruhi fungsi tertentu, sedangkan pada anak dengan keterlambatan mental, kesulitan mempengaruhi fungsi kognitif secara luas. Terdapat tiga jenis gangguan belajar : gangguan membaca, gangguan menuliskan ekspresi, dan gangguan matematik. Dengan demikian, seorang anak dengan gangguan belajar bisa mengalami kesulitan memahami dan mempelajari matematika yang signifikan, tetapi tidak memiliki kesulitan untuk membaca, menulis, dan melakukan dengan baik pada subjek yang lain. Diseleksia adalah gangguan belajar yang paling dikenal. Gangguan belajar tidak termasuk masalah belajar yang disebabkan terutama masalah penglihatan, pendengaran, koordinasi, atau gangguan emosional.

Terapi Autis 3

Akhir-akhir ini terapi biomedik banyak diterapkan pada anak dengan ASD. Hal ini didasarkan atas penemuan-penemuan para pakar, bahwa pada anak-anak ini terdapat banyak gangguan metabolisme dalam tubuhnya yang mempengaruhi susunan saraf pusat sedemikian rupa, sehingga fungsi otak terganggu. Gangguan tersebut bisa memperberat gejala autisme yang sudah ada, atau bahkan bisa juga bekerja sebagai pencetus dari timbulnya gejala autisme.

Yang sering ditemukan adalah adanya multiple food allergy, gangguan pencernaan, peradangan dinding usus, adanya exomorphin dalam otak (yang terjadi dari casein dan gluten), gangguan keseimbangan mineral tubuh, dan keracunan logam berat seperti timbal hitam (Pb), merkuri (Hg), Arsen (As), Cadmium (Cd) dan Antimoni (Sb). Logam-logam berat diatas semuanya berupa racun otak yang kuat.

Yang dimaksud dengan terapi biomedik adalah mencari semua gangguan tersebut diatas dan bila ditemukan, maka harus diperbaiki , dengan demikian diharapkan bahwa fungsi susunan saraf pusat bisa bekerja dengan lebih baik sehingga gejala-gejala autisme berkurang atau bahkan menghilang.

Pemeriksaan yang dilakukan biasanya adalah pemeriksaan laboratorik yang meliputi pemeriksaan darah, urin, rambut dan feses. Juga pemeriksaan colonoscopy dilakukan bila ada indikasi.

Terapi biomedik tidak menggantikan terapi-terapi yang telah ada, seperti terapi perilaku, wicara, okupasi dan integrasi sensoris. Terapi biomedik melengkapi terapi yang telah ada dengan memperbaiki “dari dalam”. Dengan demikian diharapkan bahwa perbaikan akan lebih cepat terjadi.

Terapi Autis 2

Terapis Wicara adalah profesi yang bekerja pada prinsip-prinsip dimana timbul kesulitan berkomunikasi atau ganguan pada berbahasa dan berbicara bagi orang dewasa maupun anak. Terapis Wicara dapat diminta untuk berkonsultasi dan konseling; mengevaluasi; memberikan perencanaan maupun penanganan untuk terapi; dan merujuk sebagai bagian dari tim penanganan kasus.
Ganguan Komunikasi pada Autistic Spectrum Disorders (ASD):
Bersifat: (1) Verbal; (2) Non-Verbal; (3) Kombinasi.

Area bantuan dan Terapi yang dapat diberikan oleh Terapis Wicara:
1. Untuk Organ Bicara dan sekitarnya (Oral Peripheral Mechanism), yang sifatnya fungsional, maka
Terapis Wicara akan mengikut sertakan latihan-latihan Oral Peripheral Mechanism Exercises; maupun Oral-Motor activities sesuai dengan organ bicara yang mengalami kesulitan.
2. Untuk Artikulasi atau Pengucapan:
Artikulasi/ pengucapan menjadi kurang sempurna karena karena adanya gangguan, Latihan untuk pengucapan diikutsertakan Cara dan Tempat Pengucapan (Place and manners of Articulation). Kesulitan pada Artikulasi atau pengucapan, biasanya dapat dibagi menjadi: substitution (penggantian), misalnya: rumah menjadi lumah, l/r; omission (penghilangan), misalnya: sapu menjadi apu; distortion (pengucapan untuk konsonan terdistorsi); indistinct (tidak jelas); dan addition (penambahan). Untuk Articulatory Apraxia, latihan yang dapat diberikan antara lain: Proprioceptive Neuromuscular.
3. Untuk Bahasa: Aktifitas-aktifitas yang menyangkut tahapan bahasa dibawah:
1. Phonology (bahasa bunyi);
2. Semantics (kata), termasuk pengembangan kosa kata;
3. Morphology (perubahan pada kata),
4. Syntax (kalimat), termasuk tata bahasa;
5. Discourse (Pemakaian Bahasa dalam konteks yang lebih luas),
6. Metalinguistics (Bagaimana cara bekerja nya suatu Bahasa) dan;
7. Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial).
4. Suara: Gangguan pada suara adalah Penyimpangandari nada, intensitas, kualitas, atau penyimpangan-penyimpangan lainnya dari atribut-atribut dasar pada suara, yang mengganggu komunikasi, membawa perhatian negatif pada si pembicara, mempengaruhi si pembicara atau pun si pendengar, dan tidak pantas (inappropriate) untuk umur, jenis kelamin, atau mungkin budaya dari individu itu sendiri.
5. Pendengaran: Bila keadaan diikut sertakan dengan gangguan pada pendengaran maka bantuan dan Terapi yang dapat diberikan: (1) Alat bantu ataupun lainnya yang bersifat medis akan di rujuk pada dokter yang terkait; (2) Terapi; Penggunaan sensori lainnya untuk membantu komunikasi;
PERAN KHUSUS dari Terapi wicara adalah mengajarkan suatu cara untuk ber KOMUNIKASI:
1. Berbicara:
Mengajarkan atau memperbaiki kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara verbal yang baik dan fungsional. (Termasuk bahasa reseptif/ ekspresif – kata benda, kata kerja, kemampuan memulai pembicaraan, dll).
2. Penggunaan Alat Bantu (Augmentative Communication): Gambar atau symbol atau bahasa isyarat sebagai kode bahasa; (1) : penggunaan Alat Bantu sebagai jembatan untuk nantinya berbicara menggunakan suara (sebagai pendamping bagi yang verbal); (2) Alat Bantu itu sendiri sebagai bahasa bagi yang memang NON-Verbal.
Dimana Terapis Wicara Bekerja:
1. Dirumah Sakit: Pada bagian Rehabilitasi, biasanya bekerjasama dengan dokter rehabilitasi bersama tim rehabilitasi lainnya (dokter, psikolog, physioterapis dan Terapis Okupasi).
2. Disekolah Biasa: Tidak Umum di Indonesia. Pada bagian Penerimaan siswa baru, biasanya bekerjasama dengan guru, psikolog dan konselor. Menangani permasalah keterlambatan berbahasa dan berbicara pada tahap sekolah, dan memantau dari awal murid-murid dengan kesulitan atau gangguan berbicara tetapi masih dapat ditangani dengan pemberian terapi pada tahap sekolah biasa.
3. Disekolah Luar Biasa: Pada bagian Terapi wicara, bekerjasama dengan guru dan professional lainnya pada sekolah tersebut. Biasanya memberikan konsultasi, konseling, evaluasi dan terapi
4. Pada Klinik Rehabilitasi: Praktek dibawah pengawasan dokter, biasanya dengan tim rehabilitasi lainnya,
5. Praktek Perorangan: Praktek sendiri berdasarkan rujukan, bekerjasama melalui networking. Biasanya memberikan konsultasi, konseling, evaluasi dan terapi.
6. Home Visit: Mendatangi rumah pasien untuk pelayanan-pelayanan diatas dikarenakan ketidakmungkinan untuk pasien tersebut berpergian ataupun dengan perjanjian.

Terapi Autis 1

Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan (belum ada) ditambahkan.
Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA).

Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan.

Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C; yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan C (consequence). Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku) berupa instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis. Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak autis kemudian memahami Behavior (perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya sesudah instruksi tersebut diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan cenderung terjadi lagi bila anak memperoleh Consequence (konsekuensi perilaku, atau kadang berupa imbalan) yang menyenangkan.

Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia dini.

HUBUNGAN AUTISME DAN ALERGI

Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Autism hingga saat ini masih belum jelas penyebabnya. Dari berbagai penelitian klinis hingga saat ini masih belum terungkap dengan pasti penyebab autisme. Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa Autisme adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh muktifaktorial dengan banyak ditemukan kelainan pada tubuh penderita. Beberapa ahli menyebutkan autisme disebabkan karena terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Terdapat juga pendapat seorang ahli bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autisme.

Tetapi beberapa penelitian menunjukkan keluhan autism dipengaruhi dan diperberat oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi alergi. Renzoni A dkk tahun 1995 melaporkan autism berkaitan erat dengan alergi. Menage P tahun 1992 mengemukakan bahwa didapatkan kaitan IgE dengan penderita Autism.

Obanion dkk 1987 melaporkan setelah melakukan eliminasi makanan beberapa gfejala autisme tampak membaik secara bermakna. Hal ini dapat juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak autism yang menderita alergi, setelah dilakukan penanganan elimnasi diet alergi. Beberapa laporan lain mengatakan bahwa gejala autism semakin buruk bila manifestasi alergi itu timbul.

Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV

A. Interaksi Sosial
1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial
1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif
1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda

Terapi Bagi Individu dengan Autisme

Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
• Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
• Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
• TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
• Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
• Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
• Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
• Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
• Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

Autisme di Indonesia

Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:
1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.

Perkembangan Penelitian Autisme

Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
• Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
• Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
• Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
• Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:
• 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
• 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
• 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
• 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
• 2000s Litigation, school-based services

Implikasi Diagnosa Autisme

Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.
Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.



Implikasi Diagnosa Autisme

Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.
Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.

Individu dengan autisme

Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
• Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
• Chromosome 7 – speech / language chromosome
• Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

AUTISME

Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.

GEJALA AUTISME

Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.

AUTISME

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:

Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.

Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:

  1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
  2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
  3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
  4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
  5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.

Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.